Kurniawan
DELAPAN BELAS GRUP TEATER Delapan belas grup teater berkumpul di Yogyakarta. Ada perdebatan masalah wajah teater Indonesia. Daerah pun menggugat pusat, seperti dulu.
Kantin Fakultas Sastra IKIP Jakarta sore itu bersimbah hujan. Tapi perbincangan beberapa mahasiswa yang mengitari sebuah meja sambil minum kopi dan minuman botol tidaklah berhenti. Umumnya perbincangan mahasiswa, isinya penuh gagasan dan argumen, dan disela dengan canda di sana sini.
"Mestinya kita sudah mulai latihan minggu ini," kata salah seorang aktivis teater kampus. "Tapi naskahnya baru jadi sebagian tuh," lanjutnya. Pembicaraan pun merembet ke masalah sumber daya dan dana.
"Sudahlah, pentasin saja Caligula, pasti laku deh," ajak yang lain. "Tapi itu di luar norma kita kan, apa bisa menerima itu?" sanggah yang lain. Dalam Caligula, kisah raja pra-Romawi itu, banyak adegan tak senonoh muncul.
Diskusi pun membahas batas-batas kebebasan mentas dan tetek bengek teater umumnya. Juga menyinggung artis-artis yang asal berakting dan kecilnya peluang jadi aktor. Meski ini sebuah diskusi kecil, yang sangat mungkin akan segera hilang begitu saja setelah forum ini bubar, apa yang dibahasnya tak jauh beda dengan yang terjadi di Yogyakarta.
DEWAN KESENIAN Di Kota Gudeg, selama 3-7 Maret lalu digelar Temu Teater Nasional X dan Musyawarah Nasional Dewan Kesenian V di University Center, kampus UGM. Munas DK V dihadiri 15 perwakilan dari 20 dewan kesenian yang sudah terbentuk. Sementara temu teater dihadiri setidaknya 18 grup teater dari berbagai daerah.
Dalam Munas kali ini beberapa topik dibahas, di antaranya perlunya reposisi dewan kesenian (DK) menuju kemandiriannya. Bahkan ada usulan pembubaran. Ketua Panitia Aswar A.M. melihat bahwa selama ini dewan kesenian masih merupakan kepanjangan pemerintah, lewat Pemda Tingkat I atau bahkan Tingkat II.
"Melalui birokrasi itulah, selama Orde Baru dewan banyak dikeluhkan menjadi salah satu penghambat dalam pengekspresian kesenian, termasuk teater. Pemerintah bisa saja dalam bentuk institusi, namun independen dan adil," kata teaterawan yang aktif di Teater Alam Yogyakarta ini.
Kegelisahan para seniman teater ini adalah kekacauan yang sering terjadi lantaran dewan kesenian diurus oleh para birokrat yang tak mengerti betul urusan kesenian. Padahal kesenian terutama yang di daerah sangat bergantung pada dewan keseniannya dalam masalah dana kegiatan.
Itulah sebabnya kecaman sebagai penghambat tertuju kepada mereka, dari tudingan politis seperti pencekalan pentas, sampai-sampai tentang kolusi, korupsi dan nepotisme. Seperti diungkapkan Febri Al Lintani. "Selama ini di Palembang ada saja orang-orang bersemangat Orba. Mereka cenderung mempertahankan DK untuk mengutip dana yang seharusnya untuk pembinaan teater. Korupsi itu," tuduh seniman Teater Gaung, Palembang ini.
Untuk itulah muncul gagasan dibentuknya Forum Komunikasi Teater Indonesia yang independen. Wadah ini diharapkan mampu mendampingi dewan kesenian, terutama dalam perumusan kebijakan dan alokasi dananya.
WAJAH INDONESIA Dalam forum temu teater ada semangat besar untuk mengangkat teater tradisi menjadi menasional, sehingga mendapatkan penghargaan yang layak sebagai karya seni. "Artinya kita mengangkat teater yang bernuansa etnis di Indonesia, menjadi teater yang merupakan wajah Indonesia. Contoh, Teater Sampaan, Kalimantan," kata Aswar.
Dikotomi teater modern dan tradisi selama ini memang memojokkan budaya lokal. Tidak usah jauh-jauh ke Kalimantan, lenong dan ketroprak saja diletakkan di luar percakapan teater. Seolah-olah jenis teater itu bukanlah teater yang layak dinilai, dikaji, dan dikembangkan.
Padahal perspektif tradisi-modern itu sudah lama ditinggalkan dalam wacana pergaulan kesenian dunia. Indonesia, meski terlambat, mencoba mengejar ketertinggalan cara pandang ini.
Ketua Komite Teater Dewan Kesenian Sulawesi Tengah, Agustan T. Syam, lebih pesimis melihat forum ini. "Saya tidak melihat adanya solusi yang akan diperoleh dari acara ini. Karena masalah yang diangkat ternyata juga masalah yang sama saat pertemuan yang lalu," tandasnya.
Masalah yang dimaksud tampaknya berhubungan dengan kesenjangan pusat dan daerah. "Kami merasa selama ini terjadi sentralisasi teater di Indonesia, Jakarta. Contoh gampang, penyebutan teater daerah dan teater Jakarta. Itu kan bisa mengundang keirian hati. Mengesankan kita yang di daerah tidak mampu berbuat banyak, dan menjadikan Jakarta sebagai kiblat teater di Indonesia.
Secara agak umum dan kabur, Aswar A.M. mencoba melihatnya dalam kaitan dengan budaya kekuasaan. Peran teater menurutnya adalah memberikan kritikan kepada pemerintah, memberikan saran, bagaimana seharusnya. "Tetapi ternyata penguasa tetap saja tuli, karena tidak pernah menonton teater sebagai sebuah kebutuhan, tetapi sebagai suatu yang membahayakan kekuasaannya. Fobi terhadap teater harus dihapuskan," tandasnya.
Agenda lain yang disinggung dalam forum ini adalah tentang usulan mengubah sebutan teater menjadi sandiwara untuk menegakkan konsep teater Indonesia. Juga mengenai standarisasi teater.
TEATER MAHASISWA Satu pokok soal yang tak banyak disinggung forum ini adalah tentang dunia teater mahasiswa. "Posisi teater mahasiswa sendiri juga tengah mengalami dilema," kata Aswar A.M. Dari mereka diharapkan muncul seniman-seniman dan sutradara yang andal karena mereka lebih berpendidikan. Tetapi selama ini jarang sekali di antara mereka terjun secara serius, menggeluti teater.
Namun Aswar tidak mau menyalahkan itu, karena pada kenyataannya teater memang belum bisa memberikan jaminan hidup. "Karena itu kuncinya, seorang teaterawan harus bisa memperbaiki diri sehingga bisa memperoleh jaminan hidup dari teater," kata Aswar.
Namun kalau dikaji lebih jauh sebenarnya potensi dari para seniman kampus itu justru mampu memberi harapan. Masalahnya, kalau mereka sudah mulai melempar, siapa yang akan menyambutnya. (kurniawan/johny)
Sepintas Wajah Teater Mahasiswa
Tak ada yang mencatat ketika akhir tahun lalu, dalam Musyawarah Besarnya, Teater Garasi memutuskan keluar dari kampus. Dengan kata lain kelompok teater paling populer di kampus UGM itu tak lagi menjaga pojok sekretariatnya di depan kantin Fisipol UGM itu.
Garasi akan bergabung dengan Sindikat Gagap Apocalipse Now dalam wadah Sanggar Kalangan Anak Jaman. Sindikat Gagap itu untuk mewadahi mereka yang suka sastra dan film. Sedangkan Garasi untuk yang suka teater.
Mengapa? "Keluarnya Garasi itu atas pertimbangan bahwa saat ini sulit menemukan orang yang ingin serius dengan teater. Selain itu, kampus kurang bisa menampung kreativitas dan luapan ekspresi kami," jelas Ketua Teater Garasi Titok Haryanto.
Keputusan Garasi keluar kampus tampaknya menjadi tanda bagi desakan profesionalisme teater yang tak terwadahi di kampus. Meski teater kampus hampir selalu ada di tiap kampus, namun tak pernah ada yang sungguh-sungguh bisa bertahan hidup. Beberapa mantan anggotanya yang dihubungi ADIL mengakui kesulitan berkiprah di dalam kampus.
Birokrasi kampus salah satu penyebabnya, sehingga tidak setiap naskah bisa lolos untuk dipentaskan. Bagi kampus yang lebih longgar, masalah dana jadi kendala. "Bantingan seribuan dari penonton, paling cukup buat membayar makan-makan pemain. Lha, bagaimana dengan properti dan lainnya," ujar seorang mantan Teater Taman Jakarta.
Muaranya, kelompok teater tersebut mentas sesuai pesanan. Ada dana, ada pementasan. "Anggotanya bisa diambil siapa saja yang sanggup," lanjut aktivis senior tersebut. Maka berbondong-bondong senimannya datang ke teater yang kebetulan mendapat dana tiban.
Selain itu masa studi yang terbatas, membuat sulitnya mempertahankan keberlanjutan sebuah kelompok teater. Namun anehnya, teater-teater kampus itu terus bermunculan, meski nyawanya tak berlangsung lama.
Teater kampus di Yogya sekarang bahkan mencoba bangkit lagi. Titok beralasan karena arus reformasi dan kesulitan menemukan wadah ekspresi diri di luar kampus menjadi penyebabnya. "Maklum, sanggar teater di Yogyakarta masih sedikit," katanya.
Sementara di lingkungan IAIN masalahnya lebih rumit. "Adanya cap miring bahwa teater tidak Islami dan tidak baik bagi mahasiswinya," kata Brodjol Seno Adji, pentolan Teater Eska, IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Padahal, upaya menghapus kesan itu sudah dilakukan, misalnya dengan pemisahan latihan untuk pria dan wanita.
Sementara, Teater Shalahuddin UGM sudah bubar sejak 1995. Bubarnya teater, menurut pengurus harian jamaah Shalahuddin UGM, Edi Supangkat (Pertanian UGM 96) karena kurangnya dana dan SDM, serta turunnya minat mahasiswa. Di samping itu, seperti juga Teater Eska, ada hambatan psikologis, semacam teater tidak Islami, karena pergaulan laki-perempuan relatif bebas.
Sementara, di Bandung, Unpad memiliki Gelanggang Seni, Sastra, Teater dan Film (GSSTF) untuk tingkat universitas. Sedangkan hampir di setiap fakultas, mahasiswanya memiliki grup teater sendiri. Seperti di Fakultas Ilmu Komunikasi ada Teater Tangga dan Seng, di Fakultas Sastra ada Teater Empat dan Bedeng. Setahun sekali mereka punya acara bareng pagelaran seni, yaitu Parade Mei yang dikoordinir GSSTF.
Di kampus lain, ada Teater Mahasiswa IKIP Bandung dan di ITB ada Stema. Sedangkan di PTS, muncul Stuba (Unisba) dan Lisma di Universitas Pasundan. "Teater mahasiswa di Bandung cukup hidup. Hampir tidak pernah berhenti pentas. Banyak tempat yang bisa dijadikan ajang pementasan teater," kata Dody, anggota GSSTF.
Gedung-gedung kesenian yang ada di Bandung cukup terbuka menerima mereka. Mereka juga memiliki jaringan antarkampus untuk pelatihan dan pementasan teater. Jaringan itu belum terlembagakan tapi cukup efektif dalam menjaga kesinambungan dan kualitas pentas. Ada kalanya mereka juga melakukan saling tukar naskah, informasi pementasan, dan latihan bareng.
Seperti pementasan Godlob (dari cerpennya Danarto), Desember 1998, pemainnya dari Unpad pemusiknya dari IKIP. Lalu Arwah-arwah (97-98), merupakan kolaborasi Unpad (pemain) dan ITB (artistik). Kerja sama antarinsan teater mahasiswa Bandung itu cukup manjur untuk meminimalisir kendala teknis.
Semarang pun cukup sibuk berteater. Di Universitas Diponegoro, ada Teater Emper Kampus (Sastra), Teater Temis (Hukum), dan Teater Buih (Ekonomi). Di IAIN Walisongo ada Teater Wadas (Dakwah) dan Teater Asa (Syariah). Sedang di Universitas Sultan Agung ada Teater SA dan IKIP Semarang punya Teater SS.
Yang menonjol adalah Teater Emka (Emper Kampus) yang selalu mentas dua lakon setiap tahun. "Ini sebagai pertanggungjawaban dana mahasiswa bagi unit kegiatan mahasiswa," ujar pimpinannya, Fahmi Z. Mardiansyah.
Pilihan lakon Emka cenderung berani. Seperti Perburuan (dari novel Pramudya Ananta Toer) dan Pilihan Lurah (Meong Poerwanto). Kelompok ini pula yang mementaskan happening art pada deklarasi Partai Rakyat Demokratik. Semua itu dipentaskan dengan dana minim, sekitar Rp 1,2 juta per tahun.
Dosen dramaturgi dan film IAIN Walisongo, H. Djawahir Muhammad, memandang pesimistis terhadap teater mahasiswa. "Selama saya melatih teater mahasiswa, tidak banyak yang diharapkan mereka menjadi aktor profesional," kata pimpinan Teater Aktor Studio ini.
Djawahir menunjukkan kelemahan-kelemahan teater kampus. Di antaranya, waktu latihan yang terbatas, sehingga berlanjut pada pemahaman dramaturgi yang kurang dalam. Akibatnya hasil yang dicapai belumlah standar. "Teater kampus lebih sebagai teater ide, terlalu banyak ide sehingga sering mengabaikan idiom-idiom teater," katanya.
Sebagai teater ide itulah maka muncul gagasan-gagasan besar dalam pementasannya. Seperti kritik sosial, penyadaran HAM, dan sebagainya. "Tugas terberat kita adalah menjelaskan kepada penonton misi yang ingin kita sampaikan," kata seorang aktivis di Jakarta.
Bagi yang menginginkan profesionalisme, maka sanggar adalah pilihan yang tak terelakkan. Sanggar akan menimbulkan iklim kompetisi yang bernilai, dan jaringan yang lebih luas.
Garasi sekarang sudah mulai latihan sekali seminggu. "Kami juga latihan bareng dengan Sanggar Kanvas dan Sanggar Anom. Tanpa pelatih khusus. Ya, dari kalangan sendiri saja," kata Titok.
Inilah salah satu ciri lain teater mahasiswa. Mereka biasa berdiskusi sendiri, dalam lingkungannya sendiri. Paling jauh, mereka mengundang senior atau alumni yang masih berhubungan baik dengan mereka. Di satu sisi ini meningkatkan rasa percaya diri mereka, namun mengapa tak mengundang seorang pakar dramaturgi sebagai penasihat misalnya?
Teater mahasiswa bagi para peminatnya memang mengasyikkan. Sampai-sampai ada mahasiswa abadi yang terus mengabdi di situ. Namun bagi yang lebih serius jalannya jelas: "Kami ingin sanggar ini dikelola secara profesional," kata Titok yakin. (kurniawan/johny/saiful/asep nz)
Sumber: ADIL, edisi 23/67/1999
Saya (Rachmad Resmiyanto) mendapatkan tulisan ini di http://www.geocities.com/z_iwan/catatan_teater_temuteaterx.html (diakses Maret 2009)
2 komentar:
salam dari teater ASA
seni itu apa,,,apa ada kaitannya dengan politik,,,,,,,,,,,,
Posting Komentar