Rachmad Resmiyanto
Tulisan ini berpretensi untuk membuka katub-katub kesadaran universal semua pihak terhadap sisi lain dari aksi demonstrasi mahasiswa menentang serangan AS ke Irak. Ditulis saat marak aksi penentangan Mega-Hamzah.
KEBIJAKAN kenaikan harga BBM serta tarif listrik dan telepon yang diputuskan oleh pemerintah sejak 1 Januari lalu sebagaimana telah diketahui dan dirasakan bersama telah menyebabkan rakyat semakin terhimpit oleh beban hidup yang kian hari semakin berat.
Wacana masa depan Indonesia kembali menguak. Mahasiswa kembali bertanya tentang komitmen pemerintah terhadap tujuan reformasi. Hampir semua elemen mahasiswa bergabung turun ke jalan menentang kebijakan ini. Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan yang tidak populis. Sekali lagi rakyat tertindas. Di tengah himpitan biaya hidup yang tak kunjung turun, pemerintah justru menaikkan harga BBM serta tarif listrik dan telepon secara serentak. Siapakah yang tak kaget mendengarnya?
Sebagai respons kebijakan tak populis ini, mahasiswa menggeliat. Situasi negara kian semarak dengan semerbak aksi demonstrasi. Ia kini menggejala pada hampir semua gerakan mahasiswa untuk menggelar seremoni demokrasi melalui demonstrasi. Turun ke jalan menyuarakan gagasan untuk menentang kebijakan dari pemerintah. Lontaran hujatan, makian dan cercaan kepada pemerintah pun berhamburan ke jalan-jalan. Ditinjau dari demokrasi ini sah-sah saja. Sebab prinsip-prinsip demokrasi memang mensyaratkan adanya saluran-saluran yang dapat memberi ruang gerak aktualisasi bagi kepentingan sekelompok masyarakat tertentu.
Banyak hal yang bisa menjelaskan merebaknya aksi demonstrasi ini. Tebak saya, mereka (baca:mahasiswa) berangkat dari imajinasi bahwa beban kehidupan sehari-hari tanpa kenaikan pun sudah sedemikian menghimpit apalagi bila dinaikkan. Dus, ini merupakan titik nadir keberpihakan penguasa terhadak rakyat. Puncak akumulasi yang sudah mencapai titik jenuh dalam kalkulasi mahasiswa. Sederet kesalahan, kelemahan dan kemandulan pemerintah, dalam kacamata mahasiswa tentunya, telah menyebabkan bangsa ini semakin terperosok. Masalah TKI, kasus Nunukan menjadi bukti makin murahnya harga nyawa manusia. Tentang KKN, Indonesia tetap bertahan di top scorer. Masalah integritas bangsa, Indonesia sudah kehilangan Lipadan dan Sigitan. Ditambah privatisasi BUMN yang dilakukan oleh pemerintah, negara menjadi semakin tercabik-cabik. Tidak lama lagi pasti ini akan diikuti oleh aset-aset yang lain. Belum lagi sumber daya alam yang telah terbang, rangsum alam bagi anak cucu telah terkuras pada masa kita.
Betapa tidak kecewa orang yang mendengarkan itu semua? Karenanya menjadi kewajaran manakala mahasiswa menyikapi dengan aksi turun ke jalan. Beramai-ramai melakukan kontestasi menggelar mimbar bebas. Ragam kesalahan tersebut telah membuat banyak elemen gerakan mahasiswa menjadi sangsi lagi terhadap kinerja Mega-Hamzah. Optimisme yang sempat berada di titik zenith harapan kian beranjak turun dan puncaknya tergambar dalam luapan aksi demonstrasi. Unjuk rasa besar-besaran.
Demonstrasi yang semula hanya menuntut diturunkannya harga BBM, tarif listrik dan telepon kini telah mengerucut untuk menurunkan keduanya dari tampuk kekuasaan.Tetapi betulkah demonstrasi itu jalan cerdas yang harus diambil oleh calon intelektual dan penyangga moralitas bangsa?
DEMONSTRASI kata yang menyimpan makna ‘perjuangan’ yang sungguh masih kontroversial di kalangan mahasiswa sendiri. Betapa tidak kontroversial, jika demonstrasi bagi sebagian mahasiswa merupakan metode perjuangan dan perlawanan bagi gagasan yang tidak sejalan dengan idealisasi mereka. Setiap paket kebijakan pemerintah yang dianggap tak bersahabat dengan rakyat selalu dijawab dengan aksi. Demonstrasi laksana ajian pamungkas untuk memaksa pemerintah mengikuti keinginan mereka. Seolah-olah logika mereka harus bisa dipahami oleh semua orang tak terkecuali pemerintah. Ia (baca:demonstrasi) telah memainkan gerakan kompleks yang mengabdi kepada kekhawatiran dan kecemasan – bahwa pertemuan dengan objek dan subjek akan mengakibatkan rasa tidak aman dan ketidakadilan. Padahal, keputusan dasar dari aturan adalah bahwa permainan harus berjalan terus apapun biayanya, bahkan sekalipun harus dibayar dengan sebuah kematian.
Mereka ke mana-mana membawa volume label almamater, menyuarakan ide dan gagasan mereka, mengatasnamakan mahasiswa lain sesukanya. Tingkah semacam ini terasa menyesakkan bahkan memuakkan bagi mahasiswa yang lain. Lihat saja dalam aksi-aksi turun ke jalan, mereka yang berdemonstrasi justru menjadi tontonan gratisan bagi teman-teman mahasiswa yang lain.
Mereka merasa diri sebagai wakil mahasiswa yang harus tahu peta permasalahan kampus dan negara, setelah itu berusaha untuk memperjuangkannya melalui wadah gerakan mahasiswa yang diikuti. Dus, mereka seolah-olah mendapat limpahan otoritas dari seluruh mahasiswa – dan bangsa -- untuk menyuarakan kepentingan-kepentingan publik.
Sementara bagi mahasiswa yang lain, demonstrasi hanya merupakan seonggok bangunan aktivitas yang tak berarti apa-apa. Tak terasa signifikansi eksistensinya. Demonstrasi tak lebih dari gejala prolonged infantilism, kebiasaan kanak-kanak yang berlanjut hingga dewasa. Mereka berteriak-teriak di jalanan, mengacung-acungkan tangan, membawa poster hujatan, spanduk makian dan cercaan. Sesekali mereka membolehkan diri untuk bentrok dengan aparat yang memang sudah menjadi tugasnya untuk mengamankan negara bahkan merampas hak masyarakat umum dengan memblokir jalanan. Menambah kadar polusi udara dengan aksi bakar ban-ban bekas. Kesemua itu sungguh bukan merupakan tindakan sportif dan ciri intelektual yang pantas dilakukan oleh makhluk sekaliber mahasiswa, calon kaum cerdik cendekia dan penyangga moralitas bangsa. Jangan-jangan memang benar ucapan Aristoteles, “Man is by nature a political animal”. Melihat demikian adanya seolah-olah tidak ada cara yang lebih santun dan cerdas untuk menyampaikan gagasan dan pendapat kita kepada penguasa.
Menyikapi segala sesuatu dengan demonstrasi biasanya langsung mendapat sambutan kalangan muda. Mereka antusias dan mendukung sepenuhnya, sebab di sana ada sikap gagah, jantan, berani, dan ada semacam sikap kepahlawanan. Sikap-sikap semacam ini sangat klop jika dijodohkan dengan jiwa dan gelora darah muda yang sedang menggelegak laksana air yang sedang mendidih.
Bagi saya, demonstrasi bukanlah satu-satunya jalan perjuangan. Menyuarakan gagasan di jalan-jalan bukanlah sarana yang pas untuk memberikan suplai wacana kesadaran kepada bangsa. Perlawanan gagasan tidak harus mengambil bentuk demikian. Justru dengan demonstrasi, wacana yang kita usung hanya akan berhamburan sia-sia, muspro di jalan-jalan. Gerakan damai bangsa ini haruslah dimulai dengan penyadaran. Tidakkah kita ingat bahwa tidak ada kekuatan yang melebihi keyakinan?
Kita harus sadar, sudah sedemikian panjang daftar yang harus diongkosi akibat demonstrasi. Saya pikir sudah saatnya untuk mengubah strategi perjuangan kita bersama. Aksi turun ke jalan, sepanjang pengamatan saya selalu menimbulkan kerusakan fasilitas umum, jalanan jadi rusak dan kotor, menambah tebalnya rasa permusuhan antara mahasiswa dan aparat, korban jiwa baik mahasiswa maupun aparat atau bahkan masyarakat yang tidak tahu apa-apa.
Saya pikir kita semua sepakat bahwa persoalan memang memerlukan jawaban. Demikian halnya dengan setumpuk permasalahan bangsa ini. Tetapi, inspirasi dari sebuah jawaban diperoleh manakala persoalan telah kita petakan dengan jelas. Dan secara filosofis, kecerdasan dari solusi sebuah persoalan ada pada seberapa cerdas kita mampu merumuskan persoalannya. Sungguhpun demikian, kita tidak bisa serta merta mengandalkan ide-ide yang sudah menjadi kebiasaan umum untuk memberikan suaka bagi tindakan kita. "Setiap generasi akan bereaksi terhadap genareasi sebelumnya. Generasi sekarang akan melakukan pemberontakan terhadap pendahulunya", kata George Sarton.
Orientasinya bukanlah hanya merampungkan bagaimana masalah itu dapat selesai tetapi juga lewat proses bagaimana masalah itu dapat diselesaikan. Orang yang hanya memperhatikan titik awal dan akhir dari sebuah masalah merupakan penganut ide konservativisme (kekolotan) – didalam fisika gaya-gaya konservatif umumnya bersifat merugikan bagi manusia--. Ia tidak merasa perlu memandang bagimana proses itu berjalan tapi yang dipandang hanyalah tujuan akhir tercapai. Agaknya tindakan ini lebih dekat ke machiavellisme.
Mungkin kita harus bisa menyadari, dalam pemerintahan yang serba transisional seperti sekarang ini, keadaannya memang seperti lautan yang selalu mengombang-ambingkan buih. Bangsa kita saat ini sedang berada pada fase transisi, karena itu yang muncul ke atas bukanlah mutiara-mutiara yang letaknya di dasar laut. Dalam keaadan seperti itu yang nampak di permukaan justru buih-buih yang berjalan ke sana ke mari. Mungkin pemimpin kita saat ini laksana buih di lautan yang selalu kelihatan di atas permukaan yang seolah-olah memimpin bagi jalannya gelombang.
Di tengah semrawutnya bangsa ini, kenapa kita tidak berkaca dari sejarah? Disadari atau tidak, sejarah selalu memainkan peranan yang sangat penting dalam pengkondisian keadaaan. Ketika sejarah disadari hanya sebagai kumpulan peristiwa saja, tentu ini tak bermakna dan hanya mereduksi nilai sejarah itu sendiri. Bagaimanapun sejarah harus dipandang sebagai kumpulan hikmah yang harus digali. Siiru fil ardli wanzhuru kaifa kaana ‘akibatul mukadzdzibiin, berjalanlah ke muka bumi dan perhatikan bagaimana akibat orang-orang yang berdusta. Wal tanzhur nafsummaqaddamat lighat, perhatikan masa lalu untuk masa depan. Seekor keledai saja tidak akan pernah terjebak dalam lubang yang sama. Namun demikian, masih saja hal serupa terjadi pada diri kita, sengaja atau tidak, paham atau tidak. Sebab proses siklis semesta membuktikan kepada kita semua, la jadidu tahtasy syam (pepatah arab), tak ada yang baru di bawah matahari.
Sekarang saatnya kita untuk melakukan introspeksi. Bahwa bukan hanya ia yang melakukan dosa, bukan hanya mereka yang melakukan kesalahan tetapi juga kita. Yang perlu disalahkan adalah bukan yang diluar diri kita tetapi yang di dalam diri kita. Kita menghujat para penindas dengan riang gembira sebagaimana setan melakukannya, yakni berusaha untuk menghalanginya dari usaha perbaikan diri. Yang kita bangun selama ini bukanlah penyembuhan luka bangsa, tapi rancangan-rancangan untuk membangun sistem chaotic di negara kita. Sudah sekian tahun reformasi berjalan, tapi justru segebok permasalahan yang kian nampak. Krisis terus berlanjut dan beban hidup semakin mencekik.
Sungguh, berkeluh kesah tidak akan pernah menyelesaikan jawaban, sebab tidak ada tempat untuk melarikan diri bagi kita.
Layang-layang hanya dapat naik jika ia menentang arus
(Benyamin Franklin, 1706–90, American politician, inventor, and scientist)
(Benyamin Franklin, 1706–90, American politician, inventor, and scientist)
Karang Malang, bumi pergulatan
18/01/2003
Tidak ada komentar:
Posting Komentar