Sabtu, Maret 14, 2009

JS, Jama’ah yang seolah-olah?

Rachmad Resmiyanto



Shalahuddin dan Sie Kerohanian Islam

Selama ini diakui atau tidak JS merupakan representasi lembaga dakwah mahasiswa yang ada di Ugm. Sebagai satu-satunya LDK ugm yang diakui pihak rektorat tentunya JS mempunyai posisi tawar yang lumayan tinggi. Namun demikian, berkaca dari sejarah, fungsi JS sebagai LDK Ugm disini masih terpertanyakan. JS ternyata tak sanggup untuk menjadi pandu gelombang bagi aksi-aksi seluruh Ski. Ironinya, JS tidak mempunyai kesadaran akan membuncahnya kepentingan Ski-ski yang ada. Bukan hanya itu JS ternyata tidak sanggup meski hanya sekedar untuk menjalankan fungsi sebagai pengontrol Ski dan pemersatu mereka.


Sebagai bso yang punya kepentingan sendiri, ternyata mereka (baca Ski-Ski) berjalan sendiri-sendiri dan berafiliasi dengan kelompok-kelompok lain yang menurut mereka sejalan dengan kepentingan mereka. Tanpa merasa sedikitpun terikat dengan JS.



Shalahuddin dan Kepentingan

Persepsi bahwa JS merupakan satu-satunya LDK yang diakui rektorat, telah mendorong berbagai kelompok mahasiswa untuk bersaing menguasainya. Ada sesuatu yang begitu menarik dan mempesonakan dalam diri JS. Sesuatu itu terejawantah dalam gerangan kekuassaan. Kekuasaan itu begitu mempesonakan sehingga mereka saling berebut untuk memegangnya. Disinilah nantinya terjadi pertarungan antar kelompok. Konflik kepentingan.

Lembaga mahasiswa, sebuah kata yang menyimpan begitu banyak makna ‘perjuangan’. Namun bukan hanya itu, lembaga mahasiswa ternyata juga menyandang predikat sebentuk bangunan yang masih kontroversial di kalangan mahasiswa sendiri. Betapa tidak kontroversial, jika bagi sebagian mahasiswa ia selalu diperebutkan, direngkuh dan dikelolanya. Tapi bagi mahasiswa yang lain ia adalah seonggok bangunan yang tak terasa hidup matinya, tak terasa eksistensinya. Bahkan bagi sebagian yang lain, ia adalah sarang mafia mahasiswa yang ingin mengekspoitasi mahasiswa yang lain melalui mahkota yang tersemat di dalam kekuasaannya.

Dengan lembaga mahasiswa itu, mereka bisa seolah-seolah merasa diri sebagai pejabat yang harus tahu peta persoalan kampus dan negara kemudian memperjuangkannya. Mereka kemudian ke mana-mana menyuarakan atas nama mahasiswa sesukanya, membawa label almamater sekehendaknya. Mereka betulbetul menyesakkan dan memuakkan.

Shalahuddin dan Masjid Kampus

Posisi js dimaskam dapat diibaratkan seperti ketika Indonesia dimanfaatkan oleh amerika untuk menghadang gerakan komunisme di asia. Waktu itu amerika punya kepentingan terhadap melambatnya komunisme yang akan segera menyerang bumi selatan. Dan dipandangnya Indonesia dengan Pak Harto sanggup melakukannya. Sehingga wajar manakala Timor Timur dengan Fretelinnya Xanana harus diupayakan bagaimana caranya untuk bisa masuk ke Indonesia. Tapi begitu komunisme runtuh, Indonesia sudah tak diperlukan lagi. Maka amerika menjalankan rencana keduanya. Timortimur harus lepas dari Indonesia.

Jadi dengan demikian suatu saat, suka atau tidak suka , sadar atau tidak sadar, JS pasti akan segera disingkirkan dari masjid kampus manakala yayasan atau takmir sudah merasa bisa untuk menghidupkan dan menjalankan fungsi kemasjidan. Toh, sampai saat ini pun JS tidak mempunyai status yang jelas bagaimana kedudukan yang sebenarnya di maskam ini. Melihat kenyataan demikian, ternyata sampai saat ini JS tidak melakukan tindakan berarti yang bisa menghasilkan determinasi resultan yang menghasilkan kedamaiaan sendiri bagi JS.

Lain halnya kalau posisi JS betul betul mengakar ke mahasiswa, JS dengan serangkaian argumennya bisa saja melakukan penggulingan penguasa maskam. JS tinggal mengumpulkan mereka, kemudian menjadi gelompang pandu yang akan menuntun mereka melakukan revolusi di maskam. Itupun dengan asumsi JS masih punya keberanian untuk berbuat demikian.

Tapi ternyata tidak demikian halnya. Selama ini, paling banter yang bisa dilakukan JS adalah menghadap pihak penguasa maskam sembari bilang,”Pak, mbok ya kami minta bantuannya untuk bisa memfungsikan masjid ini untuk kegiatan-kegiatan kami dan kalau bisa kami juga minta bantuan dananya.”

Dalam konteks ini fungsi JS sebagai lembaga pergerakan dan satu-satunya lembaga mahasiswa atau Ukm khusus masih terpertanyakan. Mungkin kita masih bisa menyadari bahwa untuk memeteakan relasi persoalan antara JS dan penguasa maskam tidak cukup hanya dengan menggunakan optik hitam putih. Permasalahan ini begitu kompleks, sedemikian hingga mau tak mau harus melibatkan hal-hal yang imajiner. Sesuatu yang sulit untuk diterima akal. Irrasional.

Padahal dalam hemat kami, posisi JS selama dimaskam adalah selalu dalam posisi orang tertindas. Kaum mustadh’afin. Sebuah term yang selalu digunakan Quran untuk menyebut orang lemah, nir kekuasaan dalam sistem sosialnya, bukan fuqara. Nah, analisis sosial yang paling efektif untuk membedah ini adalah analisis marxian. Dengan pendekatan marxian akan diketahui siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan.

Kalau toh nanti JS akhirnya kalah berhadapan dengan penguasa maskam, maka bisa saja JS melakukan gerakan pembangkangan. JS hengkang dari masjid, dan disinilah nanti layar akan terkembang. Daripada membiarkan masalah ini berlarut-larut sebagai dian (baca:api) yang tak kunjung padam dan berujung pada azab dan sengsara. Toh lambat laun ini semua akan bermuara ke arah tenggelamnya kapal JS.

Dengan hengkangnya JS dari maskam maka kran akan segera mengucur. Beragam pertanyaan yang selama ini tak satupun nyangkol diluar JS akan segera bermunculan. Kesempatan inilah yang harus segera ditarik dan betulbetul dimafaatkan oleh JS. momentum ini tak boleh kita sia-siakan. Tapi lagi lagi kita akan terbentur pada orang-orang yang kompromistis, yang selalu menghadang jalan lempang revolusi. Bagaimana nanti kata umat yang lain? Sesama umat islam kok malah rebutan masjid? Masak kita memperliatkan kebobrokan kita apada orang lain?

Mungkin saatnya kita mengusung teologi pembebasan yang sangat menekankan pada aspek praksis, yaitu kombinasi antara refleksi dan aksi, iman dan amal. Ia merupakan produk pemikiran yang diikuti dengan praksis untuk pembebasan. Teologi pembebasan berupaya untuk menjadikan mereka yang lemah dan tertindas menjadi makhluk yang independen dan aktif. Karena hanya dengan menjadi manusia yang aktif dan merdeka mereka dapat melepaskan diri dari belenggu penindasan.

Percayalah kalau bukan kita, siapa lagi yang mau bercucuran keingat untuk memperjuangkan hak-hak kita

One realm, one people, one leader.
Satu dunia, satu orang, satu pemimpin
Slogan Partai Nazi di awal 30-an



Sorry ……belum kelar.

(dibikin pada tahun 2002, Badan Pekerja Majelis Permusyawaratan Akbar)

Tidak ada komentar: