Rabu, Maret 18, 2009

Risalah Tabayyun Forum Peduli Jama’ah Shalahuddin Surat Kepercayaan Gelanggang

Risalah Tabayyun Forum Peduli Jama’ah Shalahuddin
Surat Kepercayaan Gelanggang


Bismillahirahmanirrahiim.

Ini adalah risalah yang didalamnya tidak menyimpan dusta yang disengaja; petunjuk bagi orang-orang yang ingin mendapatkan kejelasan dan kebenaran tentang peristiwa yang sebenarnya. Sesungguhnya kami telah memberi peringatan untuk kembali ke khittah shalahuddin, berdakwah atas nama Islam dan bukan atas nama kepentingan golongan, berjuang di atas jalan lurus kejujuran dan bukan kemunafikan, berpijak pada nurani dan bukan dengan memperturutkan hawa nafsu. Pendorong kami dalam hal ini seluruhnya adalah firman Allah : "Aku tidak bermaksud kecuali mendatangkan perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada petunjuk bagiku melainkan dengan pertolongan Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakkal dan hanya kepada-Nya lah aku kembali." (Hud : 88)

Sesungguhnya tidak ada yang baru di bawah matahari. Maka inilah sejarah yang berulang dan berputar. Peristiwa yang sekarang terjadi merupakan perwujudan yang malih rupa dari peristiwa yang telah mendahului kami.

Sejak Hasto Karyantoro menjabat ketua JS 1996-1997, beberapa orang dari kelompok HMI MPO menangis. Menurut Muhammad Chozin (mantan Ketua Bidang Ekstern JS 1998-1999) tangisan itu berasal dari keprihatinan kelompok HMI MPO dimana sejak kelompok Ikhwanul Muslimin (sekarang dikenal sebagai kelompok tarbiyah) mewarnai Jama'ah Shalahuddin, maka JS menjadi tampak eksklusif, yakni cenderung menutup diri dari kehidupan masyarakat dan lingkungan dan tidak mampu bersosialisasi dengan kehidupan mahasiswa pada umumnya, argumen ini didasarkan kepada tata pergaulan tarbiyah yang relatif kaku.


Ketika M. Arif Rahman menjabat ketua JS 1997-1998, kembali muncul konflik kepemimpinan. Saat itu, dewan formatur yang ditugaskan untuk membentuk kepengurusan, ternyata memilih semua pengurus harian dari anggota IM dan tidak ada satupun yang berasal dari HMI MPO. Reaksi muncul dari kelompok HMI MPO dengan melakukan aksi penempelan pamflet dan walk-out pada saat acara upacara pelantikan pengurus JS periode 1996-1997. Reaksi ini berlanjut dengan pembentukan JS Perjuangan yang diketuai M. An’am Thamrin. Hal ini sempat mmenimbulkan pemanggilan dari Pembantu Rektor III (yang saat itu dijabat Ir. Bambang Kartika) kepada M. Arif Rahman berkaitan dengan peristiwa yang terjadi. Pada akhirnya diadakan forum ukhuwah untuk mempertemukan kedua belah pihak. Secara tidak tertulis (konvensi) forum ini menyepakati untuk tidak mengulangi peristiwa pendominasian JS dan menghargai pluralitas yang ada didalamnya walaupun tidak dilakukan perubahan kepengurusan. Sejak saat itu pula JS Perjuangan membubarkan diri.

Sedangkan menurut catatan dari kegiatan Temu Generasi Jama'ah Shalahuddin yang diadakan tanggal 27 Mei 2001 di gedung UC UGM, dan dihadiri oleh para alumni JS termasuk para founding fathers ataupun pendiri JS seperti Muslich Z.A, Ahmad Fanani dijelaskan bahwa tujuan awal JS memang untuk menarik mahasiswa Islam dari golongan manapun dan pemahaman seberapapun untuk bisa tertampung dan beraktivitas dengan nilai-nilai Islam yang dimilikinya. Menurutnya, JS didirikan oleh ide dari dua organisasi mahasiwa terbesar saat itu yakni GMNI dan HMI untuk bisa menggagas kegiatan-kegiatan keislaman yang lebih merakyat, tidak terkesan ekslusif dan fundamentalis. Wacana pluralitas Jama'ah Shalahuddin itu yang dikenal sampai sekarang.

Dan sekarang peristiwa itu terulang lagi. Selama satu tahun kepengurusan terakhir (1425 H/ 2004-2005 M) telah terjadi banyak peristiwa yang sebenarnya bisa diselesaikan dengan cara yang bijak. Awal mulanya adalah ketika Departemen Layanan Publik (LP) menyelenggarakan kegiatan talkshow bertajuk ‘menguak realita dunia malam’, gelanggang mahasiswa 16 Agustus 2004. Kegiatan ini bisa berjalan karena telah mendapatkan ijin sepenuhnya dari ketua JS. Namun ternyata, pada saat pelaksanaan terjadi sesuatu hal yang di luar rencana, membuat kaget seluruh elemen JS. Pasca peristiwa ini LP kemudian dikucilkan, dimusuhi dan bahkan terkesan dimusnahkan sebagai bagian sejarah JS. Berikut ini beberapa dari peristiwa yang membuktikan pendapat tersebut.

  1. Peristiwa MTT (Musyawarah Tengah Tahun, september 2004)
    Ketua dengan meminjam tangan pengurus harian dan seluruh peserta MTT selain dari LP melakukan skenario untuk menjatuhkan nama baik LP terutama kadeptnya.

  2. Pencabutan kegiatan Makdul (semarak idul adha)
    Secara sepihak ketua mencabut kegiatan tersebut dari LP dan membuat panitia sendiri versi ketua. Padahal pada saat pencabutan, panitia makdul sudah persiapan selama kurang lebih 3 bulan berjalan. Alasan yang digunakan adalah demi menjaga stabilitas organisasi. Dan belakangan muncul isu bahwa alasan sebenarnya adalah karena ketua panitia makdul mempunyai latar belakang pemikiran Hizbut Tahrir.

  3. Pencabutan Code Tersenyum (Codet)
    Ketua JS, mengulur-ulur penandatanganan proposal pengajuan dana ke Rektorat mengenai codet tersenyum yang secara teknis sudah berjalan selama 1 bulan, padahal kucuran dana sudah sangat diperlukan, dan alasan ketua mengenai hal ini tidak jelas karena di Forum PH ketua hanya mendiamkan masalah ini seperti halnya kasus Talk Show. Dengan alasan agar tidak terjadi aliran kader yang berlebihan untuk mengurusi Codet, akhirnya Codet bahkan dilarang oleh ketua.

  4. Tuduhan makar terhadap kadept LP

  5. Tidak adanya anggota LP yang direkomendasikan menjadi anggota Badan Pekerja MPA (untuk Musyawarah Akbar

  6. Pelanggaran kesepakatan bersama
    Dalam rapat PH, disepakati bahwa kegiatan terakhir adalah kegiatannya LP, namun yang terjadi justru kegiatan LP tiba-tiba dipaksa untuk maju tanggalnya dan kemudian diadakan kegiatan dari bidang yang lain.
karena mendapatkan perlakuan yang zalim tersebut, banyak anggota LP yang merasa gerah dan melihat harga diri mereka tidak bernilai lagi di JS. Maka pada waktu TKJS III (Training Kepemimpinan JS ke-3), salah seorang anggota LP bernama Ahmad Jailani berucap kepada kadept wacana: “Kalian itu mbok jangan semena-mena terhadap LP. Kami bisa saja membuat JS MPO kalau mau”.

Ucapan tersebut ternyata ditanggapi secara serius oleh ketua dan jajaran pengurus harian (tanpa melibatkan kadept LP) dan dimaknai sebagai ancaman. Akhirnya, Ahmad Jailani dipanggil di rapat PH (tanpa sepengetahuan kadept LP) setelah seluruh anggota LP mengadakan rihlah perpisahan di Sarangan. Perlu diketahui bahwa jumlah anggota departemen LP adalah 60 orang dan semuanya aktif terhadap kegiatan-kegiatan LP dan kebetulan kebanyakan di antara mereka baru anggota I. Mungkin inilah yang dianggap bahaya.

Maka saat Musyawarah Akbar, tiba-tiba Yusuf Indra Darmawan (sekjend) mengusulkan dalam pembahasan tatib musyak untuk membedakan hak suara terkait dengan jenjang kaderisasi yang telah dilalui. Akhirnya setelah melalui perdebatan yang sangat alot, musyak bersepakat bahwa hak suara dipengaruhi jenjang kaderisasi yaitu anggota I mempunyai 1 suara, anggota II mempunyai 2 suara, anggota III mempunyai 3 suara. Inilah keputusan yang sangat kontroversial itu! Dan sebentar lagi akan kami perlihatkan kepada mereka betapa rancu dan rapuh pendapat-pendapat yang mereka bangun demi tegaknya jenjang suara itu.

Kenapa di luar musyak? Ini adalah pertanyaan wajar bagi yang tidak mengikuti proses musyak. Sebenaarnya sebelum semua bersepakat, ada sedikit angin dari forum bahwa “ini nanti masih bisa di PK”. Namun setiap kali ketika akan melakukan PK, jawaban-jawaban yang kami terima adalah persoalan teknis semata, semisal: ”kita semua sudah lelah. Itu sudah dibahas kemarin. Tidak ada gunanya membahas itu lagi. Anda kemarin ke mana? Kenapa baru sekarang usulan anda? Dan sebagainya.”

Jenjang suara bukanlah persoalan yang sepele dan remeh namun persoalan yang mendasar. Jika orang hanya menilik dari sisi politik saja gerakan ini, maka orang pasti hanya akan berkesimpulan bahwa gerakan ini hanya mempunyai tujuan untuk merebut kekuasaan, mendapatkan jatah kekuasaan dan sejenisnya. Maka perlu ditegaskan di sini bahwa tujuan utama dari gerakan ini bukan kekuasaan, namun penyadaran karena kami tidak ingin mengajari generasi setelah kami dengan ambisi-ambisi.

Kami sadar bahwa secara politik jenjang suara merupakan usaha untuk mempertahankan status quo dan dari sanalah kepengurusan 1426 H ini berpijak. Penghapusan departemen LP merupakan efek yang nyata dan mudah dibaca.
Ketika orang hanya melihat sampai di sini gerakan ini, maka orang segera berkesimpulan bahwa gerakan ini bertujuan untuk menghidupkan departemen-departemen yang sudah dimatikan di kepengurusan 1426 H ini. Sehingga kesan yang muncul terhadap gerakan ini adalah kesan ketidakpuasan atas jatah kekuasaan.

Bagi kami, dimatikannya departemen LP, BSO Pers dan departemen Wacana hanyalah persoalan sekunder. Sebab persoalan yang hakiki sesungguhnya adalah jenjang suara. Persoalan ini begitu sangat penting karena sudah melanggar wilayah syariah, prinsip-prinsip kesetaraan derajat manusia, dan yang paling mencelikkan mata kami bahwa jenjang suara merupakan strategi politik yang telah menerabas syariah Islam. Na’udzubillah. Kebiasaan berpolitik yang mengijinkan segala perilaku demi tujuan tercapai merupakan praktik politik yang tercela dalam agama dan kemanusiaan, maka tujuan gerakan ini sesungguhnya adalah penyadaran sebagaimana Islam yang datang sebagai gerakan penyadaran terhadap masyarakat yang penuh dengan budaya pagan.

Sungguh kami mampu untuk melakukan apa yang pernah dilakukan oleh JS Perjuangan, berdemo saat pelantikan, bahkan jumlah kami melebihi jumlah yang hadir saat pelantikan. Enam puluh sampai tujuh puluh anggota JS bisa kami hadirkan untuk berdemo melebihi jumlah yang hanya 20 orang. Namun kami tetap beriktikad baik dengan menahan diri dari itu semua.

Apakah mereka tidak tahu bila sebuah kepemimpinan dituntun oleh tradisi dusta, kehancuran pemimpin dan mereka yang dipimpinnya hanya soal waktu. Maka kami ingatkan bagaimana Allah telah merobohkan umat terdahulu dan melenyapkan kekuasaan mereka. Kemudian musuh pun merampas apa yang ada dengan tangan mereka lalu menimpakan kepada mereka bencana yang sangat dahsyat. Kami bukan orang yang suka membuat keributan dan memunculkan madharat yang lebih besar daripada manfaat. Bukan pula orang yang suka mengetuk pintu-pintu penguasa. Namun kami tetap bulat bahwa keputusan jenjang suara adalah penyimpangan dan kami akan meluruskannya.



Kerancuan Pendapat tentang Jenjang Suara

Berikut ini disajikan pendapat-pendapat yang terekam dalam notula musyak dan bantahan kami atas pendapat itu untuk menunjukkan kerancuan dan kerapuhan pendapat tersebut

Pendapat :

Yusuf :
terkait dengan anggota muda yg gak pny peserta penuh maka waktu ada penjenjangan anggota hrs diberikan hak suara yang berbeda pada tiap jenjang/ status


Yusuf :
bkn mslh diskriminasi.tp anggota yg b’kompeten lbh, pny hak suara yg lbh byk. Missal anggota 1 pny suara 1, anggota 2 pny suara 2, anggota 3 pny suara 3.


Yusuf :
Kemampuan angggota 3 berbeda dgan angota 2 dan 1 maka lalu hak yg diberikan harus disesuaikan.


Bantahan kami:

Jika dikatakan bahwa kemampuan anggota III jauh lebih baik daripada kemampuan anggota I, maka tidak ada jaminan atas hal itu. Siapakah yang bisa menjamin bahwa anggpta III jauh lebih baik daripada anggota I? Kenyataannya, ada beberapa anggota JS yang tidak ikut TKJS, namun beliau tetap komitmen dengan JS dan bahkan sering menjadi rujukan teman-teman JS. Sesungguhnya TKJS hanyalah satu faktor dari sekian banyak faktor yang menjadikan seseorang mempunyai kemampuan lebih dibanding orang lain. Namun, jika hanya mendasarkan pada jenjang TKJS yang diikuti kemudian dijadikan parameter bahwa orang yang sudah mengikuti TKJS III lebih baik daripada TKJS I adalah kesalahan berpikir yang nyata. Apalagi, selama lebih dari 3 tahun terakhir, departemen yang selalu gagal dalam menjalankan tugasnya adalah departmen kaderisasi. Maka, bagaimana mungkin lulusan TKJS III lebih baik daripada lulusan TKJS I, padahal keduanya adalah produk gagal dari kaderisasi?


Pendapat mereka:

Huda :
bertanya “parameter keadilan apa?” nanti bs dipakai sbg acuan utk menjawab pertanyaan td.


Bantahan kami:

Di sini Huda menggunakan logika keadilan. Maka seolah-olah jika semua anggota I, II, III mempunyai suara yang sama, itu adalah perkara yang tidak adil. Adil sesungguhnya merupakan titik keseimbangan antara kewajiban dan hak. Jika hak suara dalam musyak merupakan bagian dari hak anggota maka ini bisa dianggap adil jika dan hanya jika suara setiap anggota I, II, III adalah sama. Apa sebab? Dalam TG/TB JS kewajiban anggota I, II, III adalah sama (TB pasal 2 ayat (2)).


Pendapat mereka:

Adib :
ingin membantah perkataan Ori ttg diskriminasi. Apa yang jd ukuran sesuatu relative atau tdk sesuai dgn kesepakatan 1. kalau berbicara casuistic ga rampung2. paramerter yang digunakan adl keorganisasian.
Scr umum org lulus tkjs 3 lebih lama d js dr tkjs 1. jika satu orang satu suara itu adalah kebusukan demokrasi. Setiap kemampuan keorganisasian tiap org beda2. mak sebaiknya ada perbedaan suara.


Bantahan kami:

Kalimat Adib, “Scr umum org lulus tkjs 3 lebih lama d js dr tkjs 1” adalah benar sebab memang syarat untuk mengikuti TKJS III adalah lulus TKJS I dan II. Namun parameter “lamanya seseorang” di JS bukan ukuran terhadap kemampuan keorganisasian kader. Parameter kemampuan kader bukan “lama atau tidak di JS” namun “track record” kader selama di JS. Bagaimana tanggungjawab kader dalam mengemban amanah yang diberikan! Dairi sanalah orang bisa menilai seberapa besar kemampuan kader dalam menyelesaikan masalah.

Kalimat berikutnya, “jika satu orang satu suara itu adalah kebusukan demokrasi”, merupakan kalimat yang sungguh berani. Rupanya Adib tidak sadar telah melakukan kontadiksio interminis dalam cara berpikirnya. Begini, jika kalimatnya disetujui maka keputusan voting tentang ditetapkannya jenjang suara inipun merupakan keputusan yang busuk (voting tentang jenjang suara dilakukan setelah perdebatan ini). Sebab dalam voting tersebut, satu sorang satu suara. Kenyataannya, adib tidak mengingkari hal ini dan bahkan ikut voting dengan sistem satu orang satu suara tersebut. Mengapa dia tidak konsisten dengan ucapannya sendiri? Bukankah satu orang satu suara adalah kebusukan demokrasi, lalu kenapa ia tetap ikut dalam proses voting jenjang suara dengan satu orang satu suara? Adib rupanya tidak sadar bahwa konklusi dari ucapannya sendiri adalah keputusan tentang jenjang suara adalah keputusan yang busuk sebab dilakukan dengan voting satu orang satu suara. Bila ditarik dalam konteks negara, maka seluruh bangsa Indonesia telah melakukan apa yang disebut Adib sebagai “kebusukan demokrasi” dalam pemilu presiden langsung kemarin. Betulkah? Kami tidak akan meletakkan jawaban itu di sini karena jawaban itu sangat terang seperti beda antara malam dan siang.

Kalimatnya yang bermasalah lagi adalah, “Setiap kemampuan keorganisasian tiap org beda2. mak sebaiknya ada perbedaan suara”. Jika logika ini diikuti dan ditarik dalam konteks negara, maka kalimatnya akan berbunyi “setiap kemampuan kenegaraan setiap orang berbeda-beda, maka sebaiknya ada perbedaan suara”. Dengan demikian, hak suara antara sarjana hukum tata negara tentu berbeda dengan sarjana teknik. Hak suara antara petani dan politikus berbeda, sebab kemampuan kenegaraan mereka jelas sekali bedanya. Demikiankah yang terjadi? Kenyataannya adalah profesor tata negara, sarjana tata negara, politikus, petani, tukang becak dan bahkan pengemis mempunyai hak yang sama dalam pemilu. Antara orang yang cakap 5 bahasa asing dengan orang yang sama sekali tidak bisa bicara, nyatanya tetap sama haknya dalam pemilu. Inilah bukti betapa logika yang digunakan untuk menopang pendapat itu adalah logika akal-akalan semata.


Pendapat mereka:

Andi (BP) :
angota punya jenjang kaderisasi maka sbg dampaknya tiap anggota punya hak yang beda.


Bantahan kami:

Inilah bukti ketidakpahaman terhadap TG/TB. Hak beda yang dimaksud dalam TG/TB adalah hak untuk diangkat sebagai staff pengurus harian, pengurus harian dan ketua. Hak yang melekat dalam anggota terkait dengan jenjang kaderisasi yang diikuti adalah bersifat pasif, bukan hak aktif. Tujuan mula dibedakannya status keanggotaan JS dengan berpijak pada jenjang kaderisasi adalah semata-mata untuk memudahkan dan mengatasi kekecauan yang mungkin timbul saat pemilihan ketua dan penggangkatan ph. Sebab pada waktu itu, parameter yang bisa dianggap riil adalah jenjang kaderisasi. Semuanya sepakat bahwa syarat pertama seorang kader bisa dipilih jadi ketua atau diangkat ketua sebagai ph adalah kecakapan agama dan kemampuan organisasi, namun paramter ini dianggap tidak riil dan memeluangi munculnya subjektiftas yang bisa berujung pada kekacauan, maka ditemukanlah parameter riil itu bernama jejang kaderisasi. Lagi pula jenjang kaderisasi ini baru ada dalam khazanah JS akhir-akhir ini. Berdasarkan pada cerita Muslich ZA (Ketua Maulid Pop 1976), dulu untuk memilih ketua JS hanyalah dengan melihat siapa yang paling rajin dalam menghamparkan tikar di gelanggang


Pendapat mereka:

Huda :
menawarkan sudut pandang lain yaitu filsafat kenabian dunia diciptakan Allah maka Allah-lah yang menciptakan sumber hukum. Lalu menurunkan rosul sbg org yang diberi kewenangan. Yang tunduk adl islam yang tidak tunduk adl kafir. Tiap rosul punya pengikut, pengikut pertama lebih mulia dari pengikut belakangan. Ahlul Badar punya suara lebih drpd pend madinah yng bukan ahlul badar wkt itu. Ini bias dianalogikan d js. Jd intinya huda setuju ttg pembedaan nilai suara.


Bantahan kami:

Kalimat-kalimatnya benar. Namun ketika ia mengatakan bahwa “Ahlul Badar punya suara lebih drpd pend madinah yng bukan ahlul badar wkt itu”, kami belum pernah mendengarnya dari sirah nabawiyah yang sahihah.

Sahabat-sahabat nabi memang tidak bersamaan masuk Islamnya. Yang pertama kali masuk Islam tentu lebih utama dari mereka yang belakangan masuk. Namun dalam setiap musyawarah, nabi tidak pernah membedakan sahabat-sahabatnya. Sebenarnya logika yang mengatakan bahwa nabi membedakan sahabatnya dalam musyawarah, mudah sekali untuk dibantah. Jika hak sahabat berbeda dalam musywarah, bagaimana dengan nabi yang merupakan orang pertama dalam agama ini? Bahkan bukankah beliau yang membawa risalah ini? Di antara sekian banyak manusia waktu itu, beliau pulalah yang dipilih oleh Allah sebagai utusannya. Maka tentu yang paling berhak untuk menentukan pendapat dalam setiap musyawarah adalah beliau, bukan? Sebab dialah yang paling senior, paling dekat dengan Allah dan paling kuat imannya. Namun adakah dalam sirah demikian?

Kenyataannya, tidak setiap pendapat nabi disetujui dan bahkan nabi sering mengikuti pendapat sahabatnya seperti dalam perang badar, penanganan tawanan badar dan perang parit.


Pendapat mereka:

syahrul :
Sebuah logika, coba ingat pasal 7 ada pengecualian anggota muda yang tidak punya hak suara dg asumsi anggota muda tdk lbhbaik dari angg I, maka logika itu bias digunakan untuk angg I dan berikutnya. \Jika tidak ada jaminan angg \I tdk lbh baik dari anggota muda maka logika itu tidak dapat diterima. \Maka digunakan mekanisme votingsetelah dua kali loby tanpa hasil.

Bantahan kami:

Sebenarnya, Syahrul sudah tahu bahwa jenjang suara hanya akan ada jika ada jaminan bahwa lulusan TKJS III lebih baik daripada TKJS I. Jika tidak ada jaminan maka jenjang suara tidak akan ada. Maka pertanyaan yang pantas hanyalah “Parameter apa yang bisa menjadi jaminan atas hal itu? Dan siapakah orang di JS yang sanggup menjamin hal itu?” adapun mengenai kenapa anggota muda yang tidak punya suara akan dibahas secara tersendiri nanti.


Jejang suara: Adakah dalam Islam?

Dalam setiap musyawarah, meskipun Muhammad adalah seorang Rasul, tetapi kalau pendapat itu keluar dari benak dan pikiran pribadi beliau, sahabat tidak segan-segan untuk mempertanyakan ataupun menolaknya.

Ketika Rasulullah SAW memilih lokasi untuk pasukan beberapa saat sebelum perang Badar, sahabat Khubab ibn al-Mundzir yang memiliki pandangan berbeda mengajukan pendapat, yang didahului dengan pertanyaan apakah pendapat Rasul itu merupakan wahyu Allah (yang tidak bisa ditentang) atau sebagai pendapat pribadi. "Apakah ini merupakan tempat yang ditunjukkan kepadamu untuk engkau pilih, ataukah ini berdasarkan pendapatmu, strategi perang, dan tipu muslihat?"

Ketika musuh sedang dalam perjalanan dari Mekah ke Madinah untuk melakukan penyerangan terhadap kaum muslimin, Nabi S.a.w segera mengumpulkan para sahabatnya untuk dimintai pendapat. Mereka bermusyawarah mengenai bagaimana strategi menghadapi musuh. Dalam musyawarah, Rasulullah cenderung berpendapat untuk bertahan saja di kota Madinah; tidak perlu keluar kota untuk menghadang musuh. Tetapi sahabat-sahabat lain berpendapat sebaliknya; mereka mendesak Nabi agar kaum muslimin di bawah pimpinan beliau keluar menghadapi musuh. Ternyata pendapat mereka ini memperoleh dukungan mayoritas peserta musyawarah, sehingga Rasulullah pun menyetujuinya.

Seandainya kita menyepakati adanya jenjang suara, maka siapakah yang lebih senior di agama ini daripada Rasul ? Siapakah yang paling kuat imannya daripada Rasul ? Siapakah orang yang perkataannya lebih dipercaya daripada Rasul ?

Sekalipun begitu, kita melihat Nabi Shalallahu Alaihi wa Sallam tidak mengambil pendapat mayoritas tatkala perang Uhud di atas. Akhirnya beliau memutuskan untuk menghadapi orang-orang musyrik di luar Madinah. Sementara beliau sendiri dan para sahabat yang terkemuka berpendapat untuk bertahan di Madinah dan berperang secara bergerilya di jalan-jalan Madinah yang seluk-beluknya sudah mereka hapal.

Maka adakah jenjang suara dalam musyawarah yang dicontohkan Rasul dan sahabatnya?

Yang paling nyata mengenai masalah ini adalah Majelis Syura yang dibentuk Umar bin Khattab. Majelis Syura itu terdiri dari 6 sahabat besar : Usman bin Affan, Talhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Sa'd bin Abi Waqqas, Abdur Rahman bin Auf, Ali bin Abi Thalib.

Mereka ditunjuk Umar sebagai kandidat khalifah dan sekaligus memilih salah seorang di antara mereka untuk menjadi khalifah berdasarkan suara terbanyak. Sedangkan lainnya yang tidak terpilih harus patuh dan tunduk. Jika suara yang keluar 3 lawan 3, mereka harus memilih seseorang yang diunggulkan dari luar mereka, yaitu Abdullah bin Umar. (keterangan ini bisa dicek di Fiqh Daulah :1997, hal.200 karangan Yusuf Qardhawy).

Jelas sekali bahwa dari jumlah 6 orang jumlah suara yang keluarpun juga sama. Seandainya ada yang memiliki jumlah suara lebih dari satu maka jumlah suara yang keluar pasti lebih dari 6. Seandainya kita menyepakati adanya jenjang suara dengan alasan senioritas, keilmuan, dan sebagainya maka Ali bin Abi Thalib lah diantara 6 sahabat besar itu yang paling tinggi suaranya. Sebab beliaulah yang pertama kali masuk Islam dan paling pandai dibanding 5 sahabat yang lain.
Jawaban-jawaban yang lain tentang adakah jenjang suara dalam Islam dipaparkan oleh beberapa Ustadz alam lampiran risalah ini.

Sungguh sangat disayangkan, notula Musyak 1426 H tidak secara lengkap merekam seluruh argumen yang dikeluarkan hanya demi menggolkan jenjang suara ini. Mereka bahkan tak segan-segan untuk menggunakan contoh dalam Syi’ah Imamiyah, yang telah dianggap keluar dari Ahlu Sunnah wal Jama’ah, semua itu demi kepentingan semata. Padahal siapapun tahu betapa berbeda pemahaman antara Ahlu Sunnah dengan Syi’ah.
Mereka juga tak takut untuk mengatakan bahwa ini adalah masalah dunia, bahwa jenjang suara ini adalah masalah dunia.

Jejang suara: Apakah hanya sekedar persoalan dunia?

Dalam Risalah Taushiyah Untuk Pak Amien Rais dari Keluarga Alumni Jamaah Shalahuddin (Syawwal 1424 H) disebutkan bahwa secara bahasa, syariat (al-syari’ah) berarti sumber air minum (mawrid al-ma’li al istisqa) atau jalan lurus (at-thariq al-mustaqim). Sedang menurut istilah, syariah bermakna: perundang-undangan yang diturunkan Allah Swt melalui Rasulullah Muhammad SAW untuk seluruh umat manusia baik menyangkut masalah ibadah, akhlak, makanan, minuman pakaian maupun muamalah (interaksi sesama manusia dalam berbagai aspek kehidupan) guna meraih kebahagiaan di dunia dan di akhirat.

Syaikh Muhammad ibn Abdul Wahhab Al Yamani mengatakan bahwa meyakini kalau Islam itu hanya sebatas hubungan seorang hamba dengan tuhannya, dan tidak mencakup perkara-perkara kehidupan lainnya adalah termasuk dalam 10 pembatal keislaman. Na’udzubillah.
Maka apakah kita belum pernah mendengar bahwa Allah telah befirman:
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni`mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.
[QS Al Maaidah: 3]

“Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (Al-Maidah : 50)

“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan Kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerah diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. Dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (Al-Maidah : 44)

“Dan kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada kisasnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak kisas) nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.” (Al-Maidah :45)

“Dan hendaklah orang-orang pengikut Injil, memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah di dalamnya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik.” (Al-Maidah : 47)

“Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya.” (Ali Imran : 19)

“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (Ali Imran : 85)

“Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Kami, kelak akan Kami masukkan mereka ke dalam neraka. Setiap kali kulit mereka hangus, Kami ganti kulit mereka dengan kulit yang lain, supaya mereka merasakan azab. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Ali Imran : 56)

“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.”(An Nisaa :65).


Jejang suara: Adakah dalam Tata Gerak/Tata Barisan JS?

Dari notula dan pendapat-pendapat yang ada dalam Musyawarah Akbar 1426 H, jenjang suara merupakan perjenjangan nilai suara anggota JS yang didasarkan pada status keanggotaan atau jenjang kaderiasi (Yusuf dan Andi), kompetensi (Yusuf), kemampuan organisasi (Adib dan Syahrul), dan keadilan (Huda).

Jadi seolah-olah jika setiap anggota I , II, III dalam Musyawarah Akbar mempunyai hak suara yang sama maka itu merupakan sebuah ketidakadilan karena ada perbedaan jenjang kaderisasi, perbedaan kompetensi dan kemampuan organisasi. Betulkah pandangan yang demikian?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka setidaknya kita harus membagi jawaban dalam 2 terma besar yaitu status keanggotaan dan kaderisasi itu sendiri.

Pasal 1 Tata Barisan yang menyebutkan elemen-elemen anggota JS yaitu anggota muda, anggota I, anggota II, anggota III tidak bisa dianggap merupakan pemerincian secara bertingkat untuk kedudukan mereka, sebab pemerincian anggota tersebut memakai frasa “terdiri dari” yang menyatakan hal yang diperinci kemudian bukan sebuah hierarki. Adanya frasa ini bukan karena ketidaksengajaan dalam Musyawarah Akbar 1424 H (yang menghasilkan TG/TB yang sekarang berlaku di JS), namun merupakan frasa yang dipilih dengan sengaja sebab jika menggunakan frasa “terdiri atas” maka yang diperinci merupakan menunjukkan adanya tingkatan. Jadi pasal 1 menunjukkan eksisnya anggota muda, I, II, dan III di JS dan bukan menyatakan tingkatn atas mereka.

Hal yang menyatakan adanya tingkatan atau perbedaan dalam anggota muda, I, II, dan III disebutkan dalam pasal 2 Tata Barisan. Dalam pasal 2, kewajiban anggota muda disebutkan dalam ayat 1 sedangkan kewajiban anggota I, II, III disebut dalam satu ayat yaitu ayat 3. Ini menunjukkan bahwa ada tingkatan antara anggota muda dan anggota I, II, III. Namun pasal ini tidak menunjukkan bahwa ada jenjang atau tingkatan antara anggota I, II, dan III. Justru pasal ini menyatakan dengan jelas bahwa anggota I, II dan III memiliki kewajiban yang sama. Maka manakah yang lebih adil, ada hak suara di antara anggota I, II, III atau hak suara mereka sama?
Lalu mungkin ada pertanyaan, kenapa hak mereka berbeda di pasal 3 Tata Barisan? Hak-hak yang berbeda di antara anggota I, II dan III merupakan hak-hak yang bersifat pasif. Artinya hak tersebut tidak bisa digunakan secara aktif dan mandiri sebab hanya bersifat melekat. Hak tersebut diadakan sebab bertujuan untuk memudahkan secara tertib administrasi dalam pemilihan ketua, pengangkatan PH oleh ketua, dan pengangkatan staf PH oleh PH karena dipandang bahwa keikutsertaan anggota dalam TKJS sebagai parameter yang konkret, riil dan bisa dibuktikan dengan mudah dibanding parameter lainnya yang seringkali memunculkan adanya subjektivitas. Misalkan ketika ada pemilihan ketua, untuk bisa membuktikan seorang calon cakap atau tidak maka akan muncul banyak pandangan. Namun jika kita menggunakan parameter apakah calon tersebut sudah mengikuti TKJS III atau belum, maka ini bisa disepakati tanpa ada perselisihan dan mudah dibuktikan statusnya.

Mungkin akan ada yang bertanya, jika nggota I, II dan III tidak boleh berjenjang suaranya, maka kenapa anggota muda tidak punya suara?

Tata Gerak/Tata Barisan memang mendudukkan anggota muda tidak mempunyai peran dalam pengambilan keputusan-keputusan penting di JS. Misalnya anggota muda tidak berhak untuk menetapkan mosi tidak percaya kepada ketua (pasal 25). Ini bisa dipahami sebab anggota muda bukanlah anggota penuh. Seseorang baru akan disebut sebagai anggota penuh jika ia sudah mengikuti TKJS I.

Gagasan tentang anggota muda dimunculkan karena berangkat dari realita untuk memberikan penghargaan kepada banyak mahasiswa yang telah bersusah payah dalam kepanitian JS namun mereka belum mengikuti TKJS I. Sebelum gagasan ini muncul memang kerap terjadi perdebatan tentang status mahasiswa yang sudah payah dalam kegiatan JS namun mereka belum sempat mengikuti TKJS I bila dibandingkan mahasiswa yang tiba-tiba langsung mengikuti TKJS I. Mahasiswa pertama biasanya tidak diakui sebagai anggota JS namun untuk mahasiswa yang kedua mereka justru diakui sebagai anggota JS. Ketimpangan inilah yang kemudian memunculkan gagasan anggota muda.

Sementara tentang jenjang kaderisasi itu sendiri dijelaskan dalam pasal 20 Tata Barisan, bahwa jenjang kaderisasi terdiri dari : TKJS I, TKJS II, TKJS III dan dilaksanakan oleh pengurus. Jenjang kaderiasi inilah yang digunakan sebagai patokan dalam menentukan status keanggotaan. Dalam Musyawarah Akbar 1426 H. Adilkah ini?

Secara legal establishment sebenarnya ada banyak sistem kaderisasi di JS. Kaderisasi dengan TKJS I, II, III hanyalah salah satu kaderisasi di JS. Masih ada kaderisasi yang lain yang diijinkan di JS, yaitu kaderisasi Badan Semi Otonom (BSO). Sebab sifat otonomi BSO ialah dalam hal administrasi, pendanaan, kaderisasi, kerjasama yang menguntungkan, dan perjanjian dengan pihak lain dengan tetap memperhatikan independensi Jama’ah Shalahuddin (pasal 20 ayat 2 Tata Barisan). Bagaimana bentuk kaderisasi BSO itu bukan tema bahasan di sini.

Dengan demikian jika hanya kaderisasi TKJS I, II, III yang dijadikan dasar untuk membedakan jumlah hak suara anggota JS dalam Musyawarah Akbar 1426 H, maka ini merupakan praktik ketidakadilan dan penyimpangan TG/TB JS. Ini sama artinya dengan menafikan kaderisasi BSO di JS.

Jika tetap menggunakan alasan kompetensi dan kemampuan organisasi, maka siapa yang lebih kompeten dan cakap antara anggota II baik PH maupun bukan PH dibandingkan ketua BSO yang bukan anggota II? Ingat bahwa ketua BSO tidak harus mengikuti kaderisasi (pasal 20 ayat 3 Tata Barisan) dan Badan Semi Otonom ialah perangkat pengurus yang dibentuk untuk melaksanakan program kerja Jama’ah Shalahuddin yang memerlukan penanganan khusus; bersifat semi otonom dan bertanggungjawab kepada Ketua (pasal 20 ayat 1 Tata Barisan)!


Maka pertanyaan tentang keadilan itu sekarang sudah terjawab. Dari bagan 2 jelas sekali terlihat bahwa secara legal-establishment kaderisasi dengan TKJS I, II, III hanyalah sebagian dari kaderisasi di JS. Sehingga tidak adil jika jenjang suara hanya berdasarkan Kaderisasi TKJS I, II & III bahkan ini adalah pelanggaran terhadap TG/TB sebab menafikan kaderisasi yang lain.


Inilah berita yang berasal dari kami, dan sungguh kami telah memberikan kesaksian dengan sebenar-benarnya. Usaha yang kami lakukan bukan didasari atas hawa nafsu, kepentingan maupun ambisi. Namun usaha ini merupakan perjuangan untuk menegakkan kemuliaan. Dan seandainya perjuangan ini hanya menemukan kebuntuan demi kebuntuan, maka baginya apa yang diusahakannya dan bagi kami apa yang kami usahakan; dan sekali-kali kami tidak akan dimintai pertanggungjawaban tentang apa yang telah mereka kerjakan. Sungguh kegagalan dalam kemuliaan lebih baik daripada kejayaan dalam kehinaan. Dan Allah jualah yang menjanjikan.

Wallahu a’lam bi al shawab.

Jogjakarta, Rabiul Awwal 1426 / 04 Mei 2005



Atas nama Forum Peduli Jama’ah Shalahuddin UGM


(Unggul Anggito Adri)
[Kadept Layanan Publik 1425H, Koordinator SC RDK 1425H]



(Rachmad Resmiyanto)
[Kadept Wacana 1424H, Ketua Umum RDK 1424H]


Koordinator Forum Peduli Jama’ah Shalahuddin UGM


Ahmad Jailani

1 komentar:

Anonim mengatakan...

pertamax