Sabtu, Maret 14, 2009

Legenda Pribadi Shalahuddin

Rachmad Resmiyanto


ANAK MUDA itu begitu mantap berujar,”Shalahuddin bagaimanapun harus segera melakukan reposisi. Bagaimana kedudukan sebenarnya ia di masjid kampus ini? Apakah sebagai takmir, pemilik, penguasa atau status jamaah kemasjidannya di sini hanya sekedar meminjam salah satu pojoknya untuk numpang tidur. Semuanya harus segera terjawab. Semuanya akan berpengaruh terhadap kinerja dan perkembangan organisasi kita nanti. Mau hidup di sini, di gelanggang atau bahkan kita dirikan sekretariat di luar UGM, masing-masing punya ekses dan akibat sendiri-sendiri yang harus siap kita tanggung secara kolektif. Pokoknya hanya satu kata yang bisa menjelaskan dan melapangkan jalan yang akan kita susuri; reposisi. Kita harus segera melakukannya. Itu adalah agenda pertama yang harus segera diselesaikan. Persoalan yang lain hanyalah persoalan sekunder dan sampiran. Reposisilah persoalan yang prima.”


Saya tidak kaget mendengar kalimat-kalimat itu meluncur. Bukan karena yang mengatakan adalah orang yang punya ‘posisi’ dalam konstelasi Shalahuddin. Bukan karena yang mengatakan adalah teman dekat saya. Bukan pula disebabkan saat ini adalah masa-masa yang cukup penting bagi bertumbuh kembangnya Shalahuddin di masa depan. Bukan itu semua. Tapi saya justru tertegun mendengarnya karena kalimat-kalimat itulah yang kemudian mengerjapkan kesadaran kealamsemestaan saya tentang Shalahuddin yang selama ini saya coba pahami. Saya baru tersadar, selama ini pikiran dan ide tentang Shalahuddin ternyata belum selesai. Sayapun terhenyak dari pikiran-pikiran semu yang selama ini mengisi, mencitrakan dan kemudian memformulasikan lanskap Shalahuddin dalam benak saya. Apa yang selama ini saya anggap sebagai bentuk ternyata tidak lebih dari sikap mimikri. Yang saya anggap konsep tidak lain hanya terjemahan kehendak sesaat. Sementara yang selama ini pula saya kira sampah di Shalahuddin, justru itulah yang harus segera kita pungut, bersihkan dan kemudian kita rawat dalam alam pikiran kita.

Namun kita memang dilahirkan bukan untuk memunguti sampah-sampah. Kita dibesarkan bukan untuk siap hidup menjadi seorang yang punya kebesaran jiwa memunguti sampah. Sebab orang bilang ia pemulung. Selama ini kita memandang bahwa pemulung hanyalah sampah seperti juga sampah-sampah yang ia pungut dan serahkan ke pabrik-pabrik modern daur ulang itu. Bagi kita pemulung tidak lebih mulia dari kita yang rela memberikan sampahnya kepada mereka. Sebab bukankah pemulung itu hidup dari sampah kita? Maka kita dong yang lebih mulia. Tangan di atas kan yang lebih baik daripada tangan di bawah. Persoalannya memang tidak sekedar siapa lebih baik dari siapa. Inti semua itu adalah ada sesuatu yang seolah lain dalam struktur batiniah kita. Barangkali konfigurasi kejiwaan kita memang sudah tidak sanggup untuk mencipta peristiwa-peristiwa budaya dalam mengerjakan peradaban dengan memulainya dari seonggok sampah.

Dari segi kesejahteraan dan terutama finansial, pemulung bukanlah pekerjaan utama. Ia hanyalah pekerjaan nomor sekian setelah memang tidak tersedia lagi nomor-nomor pekerjaan di perusahaan. Itu pemulung sampah material. Sementara sesungguhnya sampah bukan hanya sampah material saja di dunia ini. Seperti di dalam lanskap budaya Cina yang mengenalkan adanya keseimbangan dalam hidup, di sana kita mengenal ada langit dan ada bumi. Ada ‘yin’ dan ada ‘yang’. Ada hitam, ada putih. Semuanya serba berlawaanan. Tetapi semuanya serba saling berkomplementer. Mereka telah menerjemahkan karakterisasi alam yang begitu kuat dalam segenap langkah-langkah budayanya. Maka demikian pulalah sampah yang kita bicarakan di atas. Ada sampah material, ada sampah non material. Bisa rohani. Pemikiran. Ide. Gagasan. Pendapat. Dan engkau tidak perlu heran sebab bisa jadi ia malih rupa menjadi bahan guyonan kita.

Sampah memang di mana-mana selalu bikin pusing manusia dan karenanya ia merupakan bagian dari permasalahan yang tak kunjung usai diperbincangkan. Bahkan mungkin kita tak kunjung juga menyadari bahwa perbincangan tentang sampah pun bagian dari sampah. Namun siapa yang menyangka jika dari sampahlah berribu nyawa hidup darinya. Dalam ruang pikiran orang-orang yang demikian tentu saja mereka tidak akan menganggap sampah sebagai barang remah-remah. Sampah adalah intan kehidupannya. Ia adalah nyawa. Jantung yang akan terus menjamin keberlanjutannya dalam sistem tata nilai masyarakat kita yang menindas. Mereka tetap sadar, bagi sebagaian yang lain apa yang mereka agungkan itu hanyalah kotoran kehidupan. Najis. Karat pembangunan. Namun dengan sebening-bening kesadaran pula, mereka memaknai dan menjiwainya sebagai sukma raganya.

Lalu apa hubungannya dengan Shalahuddin? Sebentar, jangan dulu kita ajukan pertanyaan itu. Mungkin terlalu frontal dan terkesan memaksakan adanya ketersambungan. Agar kita tidak kesulitan untuk menjawabnya, bagaimana kalau kita ajukan dulu saja, adakah sampah-sampah rohani yang bertebaran di lingkungan kehidupan kita –dalam konteks perikehidupan Shalahuddin? Adakah ia di dalam ruang-waktu yang selama ini kita lalui? Dalam setiap jengkal langkah budaya yang kita ambil, mungkinkah kita menyebabkan dan selanjutnya memproduksi sampah? Sekali lagi sampah non material. Bisa rohani. Pemikiran. Ide. Gagasan. Pendapat. Dan bisa jadi bahan guyonan kita. Bisa muncul dari bingkai kesadaran atau keluar menetes dari akal pikiran kita.

Kita memang semakin pintar. Kita begitu rajin mengasah otak sedemikian hingga kita lupa pada sistem tata nilai yang tidak membutuhkan kecerdasan semata tetapi memerlukan pula hadirnya sebuah kepekaan jiwa terhadap stimulan-stimulan kehidupan.

Bagi otak kita yang setiap hari makan roti diskusi plus suplemen buku-buku bergizi, tentu amat mudah jika hanya memilih ‘kita mau tinggal di mana’. Tinggal menggelar sebuah forum. Hearing. Voting. Lomba gagasan. Adu pendapat. Kurang mantap, masih bisa cari referensi sana-sini. Perpustakaan kita juga menyediakan buku-buku cukup banyak. Kurang apa? Biar lebih mantap, bisa dicoba simulasi. Sebagian berperan sebagai lawan yang dimusuhi dan musuh yang dilawan, sebagian lagi berperan menjadi diri sendiri yang merupakan pahlawan. Sisanya cukup menjadi penonton dan juri. Mengamati kelemahan dan memperbaikinya sehingga matanglah keputusan yang diambil. Lengkaplah prosesinya. Demokratis, ilmiah dan rasional. Setidaknya itulah rumus hidup manusia di jaman modern. Masih kurang puas, kita bisa minta tolong sama kawan yang kayaknya ‘ngerti sak durunge winarah’, menebak nasib masa depan dari jarak yang jauh di masa silam. Semakin komplit sebab ditambah dengan yang irrasional. Ini memang permintaan alam yang turut menyediakan hal-hal yang berbau imajiner. Meskipun ini agak nyleneh dipandang dari perspektif kemodernan hidup.

Namun masjid kita agaknya tidak mengandung segala hal yang imajiner. Ia didirikan dengan kalkulasi rumus-rumus ultra modern yang pasti dan sedikitpun tidak memberi ruang bagi bertumbuhnya nuansa-nuansa imajiner yang perbawa. Sebuah masjid yang berdiri tegak di atas tanah kampus, tempat menggodok orang-orang agar berpikiran modern, akan menjadi aib dan cela jika suatu saat kepergok ada seonggok sampah pemikiran manusia modern – irrasionalitas-- di bawahnya. Masjid kita sama sekali tidak mempunyai panggilan mistis seperti masjid-masjid dari masa silam. Transisi suasana yang ‘irrasional’ dari desain arsitekturnya, kolam setelah gapura, jarak gapura ke beranda, merupakan sentuhan yang dipertimbangkan dalam penggarapannya, sehingga mengantarkan orang dalam menghitung langkah-langkah religinya yang sanggup untuk membangkitkan emosi religi bagi siapapun saja yang memasukinya. Itu masjid masa silam. Kuno. Masjid kita merupakan masjid modern. Tabu dan tidak ilmiah jika masih bersandar pada kaidah masa silam. Sementara dalam kaidah orang modern, sebuah masjid tidak mesti mengikuti hal-hal seperti itu. Demikianlah, maka masjid kita memang memilih untuk tidak menabukan diri dalam menggarap desain dan pola penyelesaian sedemikian sehingga ruhnya tidak kerasan. Yang dihitung bukan berapa langkah jarak gapura ke beranda, namun berapa langkah gapura dan beranda bisa selesai. Siapapun diperbolehkan untuk mengerjakan langkah-langkah itu sedemikian hingga yang setiap hari kita saksikan hanyalah raganya saja. Jiwanya memilih untuk moksa, mengembara. Lantai yang setiap hari kita pantati dan juga kita cium hanyalah bata tanpa jiwa. Tidak perlu heran jika masjid kita benar-benar tidak menyediakan lingkungan yang merangsang kesungguhan pengabdian dan tanggung jawab kepada Yang Maha. Sebab takaran ini memang tidak bisa ditera dengan rumus-rumus modern. Masjid kita cuma sekedar tumpukan bata yang indah. Bukan sekaligus sebagai masjid rohani.

Maka jangan heran sebab Borobudur yang merupakan warisan masa silam juga demikian halnya. Orang ke sana bukan karena daya tarik magis-religi nya, melainkan karena tertarik magnet dan rumbai bangunannya. Borobudur bertingkat lapis dan dipuncaki oleh Sang Budha bersila perlambang ia moksa, mencapai maqam tertinggi, lepas dari penderitaan duniawi dan menggapai nirwana. Setiap tingkat dari bagan bangunannya sesungguhnya melambangkan tingkatan rohani manusia, sebuah jenjang religiusitas yang mesti dicapai manusia dalam menjalani lakon hidupnya. Namun sekarang orang-orang modern memandangnya tidak lebih mulia dari setiap tingkat yang kita naiki hanyalah perlambang tingkat kenikmatan tamasya semata. Orang-orang modern memang amat menyukai segala yang dangkal, karena yang dangkal itu sungguh jauh lebih aman dan tidak akan mungkin menenggelamkan kita. Maka Borobudur hanyalah tumpukan batu-batu kali, mati dan tidak berisi. Padahal engkau pun sama-sama tahu, sebenarnya ia mengandung takaran kehidupan setiap manusia.


KITA HIDUP di alam orang-orang modern dan bukan di masa silam para leluhur kita. Mak lampir memang bisa melihat sembara melalui air hanya dengan sebait mantra. Angling darma pun sanggup malih rupa jadi naga dan terbang ke angkasa. Tetapi itu cerita masa lampau. Sekarang kita hidup di jaman super komputer. Kabar dari pojok dunia pada saat yang sama dapat kita dengar. Lebih hebat dari mak lampir. Kita pun sanggup terbang tanpa sayap, bukan hanya ke angkasa tapi melampauinya, angkasa di atas angkasa, sebut satu saja Mars. Jauh melebihi kesanggupan angling darma. Di jaman seperti ini, maka takaran kehidupan itu memerlukan sebuah sistem satuan yang akan bisa meneranya untuk didistribusikan ke dalam berbagai penjuru dan pojok kesadaran kita. Dan takaran itu bisa lain-lain. Bergantung pada konteks jaman dan sekuen wilayah. Maka demikianlah, kata para ‘tetua’ kita di Shalahuddin, sejak sekitar tahun 1984-6, kita mulai mengenal takaran organisasi yang baku. Takaran itu dinamakan Tata Gerak dan Tata Barisan. Saya lebih suka menyebut takaran organisasi kita sebagai sebuah konvensi tertulis. Ia merupakan sebuah sistem tata nilai, aturan formal, etik sosial, panduan langkah budaya dan lanskap sejarah yang membentang untuk mengerjakan peradaban. Sebagaimana sifat pendulum jaman yang terus bergerak maju, kita pun merasa perlu untuk mengepaskan kembali takaran kita dengan keadaan kekinian. Takaran itu bisa saja ditera dengan bermacam parameter pilihan kita. Bisa dengan parameter kepentingan. Kondisi. Waktu. Ruang yang membentang. Struktur pemikiran. Konstelasi gerakan. Maupun konfigurasi internal kita. Semuanya sah dan pelaksanaannya bergantung pada seberapa jauh tingkat kepercayaan kita kepada konvensi, hasil rumusan kesepakatan bersama. Tentu saja ini akan mengikat bagi siapa saja yang masuk sekuen wilayah dari takaran ini.

Takaran itu bersifat mengikat. Wajar sebab ia juga aturan formal. Ia bersikap memaksa kita untuk menaatinya. Maka siapapun yang masuk ke sekuen wilayah ini, berarti ia siap untuk menyongsong peraturan-peraturan yang akan menjerat, memaksa namun juga sekaligus mengurus mereka. Namun, dibanding fungsi mengurus, takaran kita lebih banyak dimaknai sebagai sesuatu yang memaksa. Padahal toh itu adalah kesepakatan kita. Amatlah aneh jika kita dikemudian hari bilang pemaksaan sementara di masa silam kita turut melahirkan takaran itu. Kejujuran untuk bisa menaati aturan yang meskipun kita buat sendiri memang susah-susah gampang. Sama susahnya jika semua tidak ada takaran yang pas. Sama gampangnya jika menganggap bahwa menjalankannya sama saja dengan memenuhi janji kepada diri sendiri sekaligus mengerjakan kehendak nurani, di mana yang tahu sesungguhnya hanya kita sendiri. Kejujuran dalam menaati takaran merupakan potensi yang akan mengembangbiakkan nilai-nilai kesadaran untuk hidup dengan mendidik diri sendiri. Kita semua adalah subjek dan potensi yang akan menjadikan kehidupan organisasi kita baik atau buruk. Jika kesadaran diri sudah tumbuh, maka masing-masing akan mampu untuk mendidik dirinya sendiri. Artinya kita harus lebih banyak untuk menuntut diri sendiri. Pendidikan yang terbaik adalah iklim yang menantang agar seseorang menantang dirinya sedniri. Kita datang ke sekuen wilayah ini bukan untuk di songsong oleh takaran yang mengatur, mengikat, memaksa dan menjerat kita. Bodoh sekali jika kita masuk dalam barisan ini.Dengan demikian disiplin yang nanti ditumbuhkan dari sini tidak bertitik tolak lagi dari sistem dan lingkungannya, tetapi dari kesadaran masing-masing. Pada tingkat kesadaran seperti ini, kita sama sekali tidak memerlukan aturan-aturan formal dalam setiap peristiwa budaya kita. Tata gerak dan tata barisan baru bisa kita tinggalkan. Sebelum tingkat kesadraan masing-masing diri kita mencapai ini, meninggalkannya merupakan sebentuk pengkhianatan terhadap kesadaran diri dalam menerjemahkan kehendak nurani kita. Pada dataran ini setiap titik peristiwa budaya hanya merupakan kejadian aksidental. Kerja-kerja budaya, tingkah etik sosial, bahkan kerja-kerja dakwah hanya sekedar seuah kecelakaan sejarah.

Untuk bisa mencapai ke tingkat menumbuhkan kesadran diri, takaran kita memnag diharuskan oleh sebagian untuk diubah. Alasannya jelas, ia harus disesuaikan dengan parameter tadi. Namun jika tiap tahun berlaku gejala serupa, selalu saja diubah, cara berpikir ini seperti yang pernah dikatakan Hegel dalam formulanya untuk mencapai kebenaran mutlak: tesis, antitesis, dan anti antitesis. Orang lebih suka dengan menamakannya triadik dialektika Hegel. Tesis, anti tesis dan sintesis. Jangan-jangan secara tidak sadar, kita memang merupakan orang yang mengagumi Hegel dalam struktur pemikiran kita. Konstelasi alam berpikir kita mungkin telah memberinya sebuah ruang untuk secara leluasa meminjaminya sebuah peran dalam kiprah gagasan dan praktik kehidupan.

Tesis harus dilawan dengan antitesis. Tak perlu kuatir, ini bukan ajaran kafir, sebab Tuhan juga memberitahukan kepada kita demikian. Anjuran setan hanya bisa disandingkan dengan dorongan-dorongan malaikat. Jika setan adalah tesis maka malaikat-lah antitesis yang akan melawannya. Ini sabda alam. Kebaikan selalu bertentangan secara diametral dengan keburukan. Tesis harus dilawan dengan antitesis. Hegel memang benar adanya sampai disini. Namun ia terlalu suka sehingga masih meneruskan permainannya. Tesis harus dilawan dengan antitesis dan ketemulah sintesis. Sebuah kesadaran yang merangkum keduanya, mencangkok sifat-sifat yang sehat dan membuang segala yang buruk sekaligus merugikan. Ia tidak berhenti di sini. Sintesis ini akan menjadi tesis baru. Dan tentu saja ia akan dihadapi oleh kekuatan antitesis yang baru. Muncullah sintesis yang baru dan segera ia berubah menjadi tesis lagi. Begitu seterusnya. Struktur pemikiran Hegelian merupakan sebuah rantai berkepanjangan yang tak berujung. Secara eksperimental, ia merupakan cara trial and error. Coba dan salah. Coba lagi dan salah lagi. Jangan takut mencoba lagi dan jangan takut salah lagi. Pokoknya coba dan pokoknya tetap saja salah.

Ambillah satu contohnya. Jika sebuah sistem pemerintahan dengan kekuasaan penuh di tangan penguasa adalah tesis, maka yang sebaliknya merupakan antitesis. Yaitu pemerintahan dengan rakyat yang terlalu bebas. Keduanya kemudian secara sadar dirangkum dalam sebuah sistem tata pemerintahan yang hendak bermaksud mengajarkan keseimbangan diantara kedua belah pihak, ya pemerintah, ya rakyat. Inilah demokrasi. Inilah sintesis itu. Tapi pencarian ini terus bekerja sebab demokrasi secara langsung menjelma sebagai tesis baru. Ia akan dihadapi antitesis baru. Lahirlah kembali sintesis baru.

Jadi jika takaran itu tetap mau diubah, maka yang perlu kita pertimbangkan adalah adakah identitas Hegelian dalam perubahan itu? Seberapa jauh signifikansi perubahan itu terhadap merah hijaunya masa depan nanti, perlu juga kita renungkan. Tak perlu sampai nenepi di makam sunan anu, sebab masjid megah kita juga bekas kuburan.

Serba salah memang. Ketika kita memutuskan bahwa takaran itu cukup sampai di sini dan tak perlu diubah, artinya kita memberikan peluang kepada saudara-saudara kita untuk memprasangkaimu, bahwa engkau merupakan penganut inkarul kitab. “Yang tidak bisa diubah itukan hanya kitab suci. Lha ini kan cuma takaran, bisa memuai jika kena panas dan bisa mengkerut jika diletakkan di hawa dingin. Takaran termasuk timbangan di dalamnya setiap tahun toh juga harus ditera ulang di kantor pusat-pusat kejujuran. Takaran bukan kitab suci. Ia produk manusia. Tidak mungkin atribut kemanusiaan dalam produknya senantiasa tidak bisa melekat.”


JANGAN-JANGAN nanti bukan hanya takaran yang mengalami nasib gonjang-ganjing. Susunan pengurus pun bisa kecipratan juga. Jaman modern kan jauh lebih kompleks, jadi pasti ada orang yang pikirannya aneh-aneh. Bahkan nganeh-nganehi. Bisa saja setan mampir sebentar dan ia pun berpikir, “Kalau begitu, bisa dong pengurus sekarang tidak diganti!”

Jangan curiga bahwa ia adalah pendukung setia status quo. Tak perlu sampai ke sana. Tariklah napas dan tahan dalam-dalam, engkau akan sadar bahwa ia adalah Sang Nasrudin Hoja. Seorang sufi legendaris yang boleh jadi ia telah sampai ke puncak kearifan. Sehabis shalat di masjid, ia keluar dan segera mendapati keledainya telah dicuri orang. Ia masuk lagi dan bersujud lama sekali. Bukan karena kehilangan keledai, melainkan ia bersyukur, untung yang dicuri cuma keledai. Ia tidak bisa membayangkan jika tubuhnya pun juga ikut dicuri orang…... Betapa besar nikmatMu.

Sang Sufi kita menyadari bahwa rizki bukan hanya berbentuk pemberian, saat mendapatkan atau memproleh, namun bisa berbentuk kehilangan. Kemenangan tidak hanya berarti menang dalam perebutan dan kenduri, kemenangan malah mungkin terjadi pada orang yang berpuasa dari perebutan, pesta pora dan kerakusan. Tidak setiap memiliki berarti keuntungan, tidak setiap kehilangan berarti kerugian. Maka sujudnya bukan tangisan ratapan yang cengeng. Sujudnya merupakan bukti keperkasaan jiwanya. Itulah sosok Nashrudin, tentu saja ia berbeda dengan Shalahuddin. Shalahuddin bukan seorang sufi, melainkan ia adalah panglima perang yang gagah berani. Masjid Al Aqsa adalah tempat suci dan ia warisan sejarah yang mesti direbut dengan sepenuh hati. Dan kita pun demikian halnya. Sebab kita memang bukan Nashrudin Sang Sufi. Kita adalah Shalahuddin………….

Maka dari itu jangan disangka, salah satu Shalahuddin kita di atas, bukan pendukung status quo. Ia adalah pewaris Nashrudin. Jangan buru-buru curiga dengan pernyataannya. Sebab seorang sufi memang kadangkala sulit dipahami. Pergilah ke masa silam dan engkau akan temukan kisah Khidhir yang bahkan Kanjeng Nabi Musa pun tak sanggup menyelami kedalaman batin kearifannya dan bentangan cakrawala suluh pengetahuannya. Pengurus tak diganti bukan berarti personal yang duduk di struktural, tapi ia bisa diterjemahkan lain. Bisa ke struktur jejaring kepengurusan sekarang, bisa pula ke makna batiniahnya. Artinya ada dua pilihan bagi kita untuk mempertahankan salah satu, apakah distribusi fungsi kerja ataukah pemerataan personal kader yang bisa berfungsi bla bla bla. Pilihan manapun dari keduanya memang akan tetap mencakup kedua hal tersebut. Tetapi pilihan tersebut tetap akan memperngaruhi skala prioritas masing-masing pilihan.

Dunia adalah makhlukNya dan tak ada yang buruk setiap ciptaanNYa. Begitupun isi dunia ini. Pilihan itu semuanya baik atau semuanya buruk bergantung pada seberapa jauh kita sanggup untuk melemparkan jangkar kebutuhan ke masa depan. Sebuah masa yang tak dapat dipeegang dengan pasti secara rasional. Kalkulasi tingkat tinggi pun tak kan pernah sanggup menembus tabir kegaiban kecuali sekedar merekomendasikan bahwa ini merupakan prediksi. Saat ini masa depan merupakan sesuatu yang masih imajiner. Abstrak. Di sanalah kita perlu religiusitas. Selama ini kita tidak pernah melihat jejak kemudian menghitungnya, berapa yang langkah yang selama ini menambah kekariban kita kepada Allah. Padahal kita semua tahu, Allah senantiasa ingin bermesraan dengan setiap kekasihNya. Siapapun itu. Setiap langkah budaya dan bahkan kalau mungkin kerja dakwah (?) kita senantiasa selalu dianjurkan oleh para mu’allim dan asatidz, mulailah dengan basmalah. Dengan asma Allah yang maha Rahman dan maha Rahim. Rahmat Tuhan itu dua macamnya, pertama Rahman, kedua Rahim. Keduanya melambangkan sebuah urutan spasial-gradual yang mengerucut. Rahman itu maha meluas sebab ia berlaku horisontal yang hanya berbatas cakrawala. Rahman Tuhan akan menyapu siapa saja ia dan dimana saja. Rahman Tuhan tidak peduli si fulan kafir atau mukmin, fasik atau muhsin, kaya atau fakir. Pokoknya siapapun ia dan berujud apapun. Asalkan ia adalah makhlukNya, maka berhak mendapatkan sapuan RahmanNya. Rahman Tuhan bergerak dalam dimensi ruang. Hanya horisontal. Berbeda dengan RahimNya. Ia bergerak dan bermain dalam sebuah titik ruang tertentu saja. Rahim Tuhan tidak sembarangan menyapu siapa saja, ia akan memilih, mengkhususkan kepada yang dipilih. Rahim Tuhan itu maha mendalam. Karenanya ia hanya bergerak dalam dimensi waktu. Hanya vertikal. Hanya orang-orang terpilih sajalah yang berhak mendapatkan RahimNya. Maka beruntunglah kita seluruh manusia lahir dari rahim ibu kita masing-masing. Mudah-mudahan saja Shalahuddin juga demikian adanya. Ia lahir dari rahim peradaban. Bukan sekedar keluar dari sebuah kekosongan peristiwa budaya dan kerja dakwah yang kemudian meledak. Sebab jika memang demikian adanya, saya hanya cemas: “kesempatan hanya datang satu kali dalam hidup. Satu-satunya ledakan yang menghasilkan keteraturan adalah ledakan terbentuknya alam raya. Big bang. Ya, jagad raya kita terbentuk dari sebuah kekosongan ruang waktu yang kemudian secara suddenly meledak. Dan sungguh aneh, dari sebuah ledakan muncullah keteraturan. Pintu kesempatan telah tertutup…..”

Tapi ‘Sajadah Panjang’-nya Taufik Ismail masih terhampar di ‘Ladang Sajadah’-nya Zawawi Imran. Meskipun kesempatan telah tertutup, bukanlah Shalahuddin Sang Panglima yang gagah berani jika kemudian kita mengultimatum Tuhan dengan ‘Doa Mohon Kutukan’-nya Emha Ainun Nadjib. Kita tetap harus berani menjalani ‘Legenda Pribadi’ Shalahuddin. “Benar bahwa semua punya Legenda Pribadi masing-masing, tapi suatu hari Legenda Pribadi itu akan terwujud. Jadi tiap-tiap benda harus berubah untuk menjadi sesuatu yang lebih baik dan untuk mencapai Legenda Pribadi yang baru…”, demikian kata si bocah Santiago dalam Sang Alkemis-nya Paulo Coelho.

Kita menunggu Shalahuddin untuk berdoa: “Jangan biarkan ku berdoa untuk berlindung dari bahaya, tapi untuk menjadi berani menghadapinya. Jangan biarkan aku meminta kesembuhan luka, tapi hati untuk menaklukkannya. Jangan biarkan aku memohon dalam ketakutan yang cemas untuk diselamatkan, tapi kesabaran untuk memenangkan kebebasan. Berkatilah aku agar tidak menjadi seorang pengecut yang merasakan kasihMu dalam keberhasilanku semata, tapi biarkan aku menemukan rengkuhan tanganMu dalam kegagalanku. Biarkan hanya kecilku yang tersisa dariku ketika aku menyebutMu segalaku. Biarkan hanya kecilku yang tersisa dariku ketika aku menyebutMu segalaku. Biarkan hanya kecilku yang tersisa dariku ketika aku tak mampu menyembunyikanMu.” , agar Shalahuddin semakin perkasa.


Awal hari di sebuah kota bersinar
Hari ke dua puluh di bulan pertama tahun dua ribu empat

Tidak ada komentar: