Rabu, April 01, 2009

Sejuta Harapan dari Serambi Masjid Kampus

Feriawan Agung Nugroho

Tahun 2000


“ Janganlah kamu shalat dalam masjid itu selama-lamanya . Sesungghnya masjid yang didirikan atas dasar taqwa sejak hari pertamanya adalah lebih patut kamu shalat didalamnya. Didalamnya adalah orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan Allah menyukai orang-orang yang bersih.” ( At-Taubah 108)


Petikan ayat di atas tampaknya memberikan sindiran kepada kita tentang peletakkan fungsi masjid sebagai tempat pembersihan diri jika dikaitkan dengan kehadiran masjid kampus. Sekitar setahun yang lalu Almarhum Bapak Abdullah Adnan, salah seorang penceramah yang rajin memberikan wejangan kepada Jama’ah Shalahuddin mengemukakan harapan beliau terhadap masjid kampus yang belim ada, padahal kampus UGM adalah kampus tertua di Indonesia. Kehadiran masjid kampus bukan sekedar memenuhi kebutuhan shalat bagi Jamaah tetapi juga untuk memberikan suasana yang Islami di tengah kehidupan kampus.

Dalam ceramah pertama kalinya di masjid kampus, Rektor UGM Prof. Dr. Ichlasul Amal , memberikan penjelasan banyak seputar persoalan teknis yang menjadi hambatan dan tantangan kedepan dalam penyelesaian proyek masjid kampus.Beliau katakan bahwa masjid kampus yang saat ini dapat dinikmati seolah menjadi proyek yang sarat perubahan, karena dari segi pendanaan sangat bergantung pada donatur yang masuk dan besarnya dana akan berpengaruh kepada bentuk fisik masjid. Oleh karena itu rencana yang rigit tentang proyek masjid kampus tidak pernah ada karena senantiasa berubah, tergantung donatur yang masuk. Memang harus diakui bahwa kehadiran masjid kampus sejak awal mula didengungkan sangat sarat dengan hambatan mulai dari dana, tempat, birokrasi dan juga berbagai persoalan teknis lainnya. Tetapi Alhamdulillah bahwa kita telah menyaksikan dan merasakan bahwa masjid kampus sekarang telah berdiri sekitar tigapuluh persen dan mampu menampung jamaah tarawih sekitar 700 orang. Itupun dikarenakan tidak semua jamaah tertampung didalamnya.

Selain persoalan fisik, sesungguhnya masjid kampus masih menyimpan pertanyaan besar berkaitan dengan masa depannya. Pertama, adalah optimalisasi fungsi masjid berkaitan dengan jamaah yang akan menggunakannya. Masjid kampus tidak akan banyak berguna dan hanya menjadi bangunan yang mubazir seandainya tidak ada jamaah yang mengunakannya. Mengapa persoalan ini perlu dikemukakan ? Beberapa hal yang perlu dicatat sebagai hambatan adalah lokasi masjid yang kurang strategis, yakni relatif jauh dari fakultas –fakultas yang rata-rata sudah memiliki mushola dan masyarakat sekitarnya seperti Kelurahan Terban dan Kuningan. Selain itu, kekhawatiran stigma yang muncul di masyarakat terhadap lokasi pendirian bangunan masjid yang bekas makam warga keturunan Cina.

Kedua, adalah persoalan klasik bahwa setiap pendirian masjid selalu akan timbul perebutan hegemoni ataupun dominasi warna jama’ah yang duduk sebagai takmir (pemakmur) masjid. Di dalam masjid, sebagaimana kita ketahui, terdapat struktur kepengurusan yang akan menentukan model, metode dan jenis dakwah dengan warna Islam yang bergantung kepada pemahaman takmir yang bersangkutan. Maka, kekhawatiran selanjutnya adalah terjadinya perang yang tidak sehat untuk memperebutkan struktur takmir masjid.

Ketiga, adalah penciptaan ruang – ruang bagi LDK baik tingkat universitas seperti Jamaah Shalahuddin dan tingkat Fakultas untuk memberikan warna dakwah yang akademis sebagai karakteristik utama sebuah masjid kampus. Tentu saja masih banyak persoalan seputar masjid kampus dalam perjalanannya kemudian , tetapi setidaknya ketiga hal ini yang akan pertama kali bersentuhan dengan pendirian masjid kampus.

Langkah-langkah untuk menyelesaikan persoalan-persoalan tersebut bukan tidak diagendakan oleh mereka yang berkompeten dalam proses penyelenggaraan dakwah di masjid kampus. Jamaah Shalahuddin dalam pembentukan Forum Masjid Kampus (FOMAKA) yang disokong oleh Seksi Kerohanian Islam tingkat fakultas bekerjasama dengan pihak rektorat telah mengantisipasi terjadinya hambatan-hambatan di atas dengan melakukan studi banding ke universitas lain, melakukan perencanaan struktur masjid kampus, dan melakukan penataan ruang di masjid kampus sesuai warna idealisme tiap-tiap fakultas. Wujud idealisme itu secara riil menunjukkan kompetensi fakultas dalam memberikan pelayanan umat di masjid kampus.Misalkan, fakultas kedokteran akan mengelola poliklinik, fakultas psikologi menangani TPA dan lain sebagainya.

Beberapa pertimbangan lain bahwa secara geografis Masjid Kampus berdekatan dengan fakultas Sastra, Fakultas Isipol, Fakultas Hukum, Psikologi, Ekonomi yang merupakan fakultas Ilmu-Ilmu Sosial. Tentu saja, bukan tidak mungkin bahwa warna akademis yang dominan akan ditunjukkan dari fakulas-fakultas tersebut. Maka, bisa jadi pergumulan wacana dan diskursus akan mendominasi kegiatan-kegiatan di masjid kampus.

Kemudian, dengan turutsertanya Jama’ah Shalahuddin dalam proses penanganan masjid kampus sedikit banyak akan menjamin pluralitas warna Islam di masjid kampus. Mengapa ? Karena Jama’ah Shalahuddin telah lama dikenal sebagai lembaga dakwah yang plural dan menampung semua golongan umat Islam mulai dari NU, Muhammadiyah, Ikhwanul Muslimin, Tabligh, Salaf dan lain sebagainya dan itulah jaminan riil terhadap warna dakwah masjid kampus. Pertanyaan selanjutnya adalah apakah Jamaah Shalahuddin akan pindah ke masjid kampus, ataukah tetap mendiami Gelanggang Mahasiswa, atau justru memiliki tempat dan sekretariat ganda. Sampai saat ini hal itu masih merupakan perdebatan internal Jamaah Shalahuddin dan belum bisa menjawab pertanyaan beberapa penikmat gelanggang seperti UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) yang berencana menempati eks sekretariat Jamaah Shalahuddin sebagai sekretariat kegiatan mereka.

Jika kemudian Jama’ah Shalahuddin lewat FOMAKAnya diberi porsi wewenang terbesar dalam pemberdayaan masjid kampus, lalu apa idealisasi Jamaah Shalahuddin dalam melihat masa depan masjid kampus ? Maka jawabnya satu : terwujudnya masjid kampus sabagai pusat kegiatan umat Islam dalam mewujudkan masyarakat kampus yang madani. Maka masjid kampus harus plural dan dinamis, memiliki akses komunikasi dan informasi yang ideal, memiliki pusat-pusat kajian, memiliki media penyebaran dan sosialisasi ide-ide dan pengembangan wacana, dan dengan tidak meninggalkan fungsi utamanya yakni sebagai tempat beribadah ritual seperti sholat, pengajian dan lain sebagainya. Dengan demikian, bukan tidak mungkin bahwa masjid kampus UGM akan memberi warna dalam membentuk peradaban Islam di Indonesia dan dunia.

Sejuta harapan di masjid kampus, sejuta tantangan harus dijawab. Semoga dengan dimulainya penggunaan masjid kampus di bulan Ramadhan ini, menjadi awal kebangkitan pembentukan masyarakat bukan saja di kampus, tetapi juga di Indonesia dan dunia dalam melahirkan karya-karya nyata dari intelektual- intelektual muslim di UGM. Tentu saja itu tidak berarti tanpa keterlibatan kita semua dan Ridha dari Allah SWT. Amien ! (Gus Fer)

1 komentar:

Unknown mengatakan...

wah lagi ngerti aku tentang blogg iki, tapi kok ketoe dah ngak aktif lagi.

teman2 mantan js bok yo dikumpulkan, bagus untuk kumpul2 dan dialog bareng